Jumat, 25 Desember 2009

WHEN YOU SAY HAPPY BIRTHDAY

“Surprise!!!” seru teman-temanku.
Aku sudah mandi kertas saat mereka memberiku selamat secara bergantian, dengan menjabat tanganku. Dan tak lupa mereka memberiku hadiah ultah. Kemudian Mba’ Say maju ke hadapanku dan memberikan kado yang terbungkus kertas kado berwarna pink kesukaanku dan bermotif peri-peri kecil yang ternyata isinya adalah buku “Harry Potter” yang selama ini aku inginkan.
“Hihihi,” aku terkikik sendidrian. Sayang semuanya hanya angan-angan belaka, yang akan sangat indah jika benar-benar terjadi.
Ulang tahunku sudah bulan depan. Kira-kira Mba’ Say dan Ratna mau ngasih apa ya? Diary, poester Alvin AFI, figora, atau mungkin sebuah novel? Aku udah nggak sabar lagi menanti tanggal 14 April, padahal sekarang masih tanggal 18 Maret. Masih 26 hari lagi.
Tiba-tiba hpku berbunyi. SMS dari Uni.
Pril, jgn lp krjain Prnya y. Bsk aq mo dtg pg2 ng kmu. Biasa, nyontek dulu ya. Mlm ini aq mo prg k pmrn d lpgn spk bola. G’ ush d blz.
Iiih, Uni. Udah kebiasaan deh kalo ada PR pasti nyontek. Mungkin Cuma sekali dia nggak nyontek, yaitu waktu ada PR B. Indonesia. Itupun soalnya guaaammmpaaangng… buaaangettt! Kalau pada pelajaran lainnya terutama matematika nyonteknya kalau nggak sama aku, ya sama Ratna.
Aku, Uni dan Ratna teman sekelas sekaligus sebangku di kelas enam MI. Miftahul Ulum. Di antara kami bertiga yang “smart” adalah aku dan Ratna, sedangkan Uni nggak begitu. Otaknya pas-pasan. Jadi tiap kali ada PR yang jadi sasaran contekan pasti aku dan Ratna. Tapi kami tetap bersahabat baik. Kami tidak memandang pintar atau bodohnya. Uni tidak pernah memuji kepintaranku dalam segala pelajaran, demikian juga Ratna. Sebaliknya aku dan Ratna juga tidak pernah membicarakan otak Uni yang pas-pasan. Karena itu aku senang berteman dengan Uni karena dia satu-satunya orang yang tidak pernah peduli dengan nilai bagusku.
Aku kembali berbaring di tempat tidur, memejamkan mata dan berharap bermimpi tentang perayaan ulang tahunku.
***
“Pril, gimana PRnya? Selesai?” tanya Uni saat aku sudah sampai di gerbang sekolah.
“Ah, Uni. Aku kan baru aja nyampek, nanti kalu uadah di kelas aku kasih deh,” jawabku.
“Masalahnya sekarang, PRnya harus dikumpulkan pada pelajaran pertama. Aku kan harus buru-buru nulis. Entar deh kalu kamu ulang thun aku kasih kamu fotonya Alvin deh,” rayu Uni, dan biasanya kalu aku dirayu dengan iming-iming dapat fotonya Alvin idolaku, aku tak bisa nolak permintaannya.
“Kamu emang tahu aja yang aku mau,” kataku sambil membuka tasku. “Nih.”
“Hihihi, thank you very much ya. Mmmuah,” Uni mencium buku catatanku.
Aku tersenyum dan mengikuti Uni ke dalam kelas. Di sana sudah ada Ratna yang mencatat pelajaran. Emang sih otaknya encer, tapi kalau soal catat-mencatat sering banget ketinggalan. Alasannya sih capeklah, tangan lagi pegellah, makanya setiap pagi jangan heran kalau lihat dia duduk manis, nyiapin buku catatan dan buku panduan, nulis deh!
“Rat, gimana PRnya? Susah?” tanyaku.
“Nggak kok, aku udah ngerjain,” jawab Ratna tanpa menoleh sesentipun ke arahku, “tapi aku belum nyatet nih, luupa. Bantuin dong.”
“Sorry lah yaw, tanganku juga pegel tauuuk,” cibirku. Aku duduk di sebelah Ratna dan memasukkan tasku ke kolong meja. Kulihat Ratna menutup bolpoinnya, sementara catatannya belum selesai.
“Aini, tolong beliin aku pisang goreng di warungnya Bu Mar ya, GPL,” serunya pada anak yang berdiri di depan pintu.
‘Ya ampun Ratna. Catatannya aja belum selesai, masih sempat-sempatnya jajan. Ini nih yang namanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan,’ gemingku dalam hati
“Aku juga ya,” tambah Uni.
‘Yee, Uni ikutan juga. PRnya juga belum selesai disalin.’
“Mana uangnya?” Aini menadahkan tangan kaya’ pengemis. Ratna dan Uni sama-sama meletakkan sekeping uang lima ratusan di telapak tangan Aini. “Kamu juga mau beli, Pril? Pisangnya masih hangat lho, besar-besar lagi,” Aini menoleh padaku.
“Nggak ah, aku udah kenyang tadi sarapan roti pisang juga di rumah,” jawabku berbohong.
“Bener nih nggak mau beli? Kayaknya aku denger dari tadi perut kamu bunyi deh. Kalau emang pengen, beli aja. Bohong itu kan dosa. Apalagi pisang gorengnya kan enak, hangat lagi. Yang pasti rasanya yahut!” goda Ratna.
“Uuuh, Ratnaaa,” aku mencubit lengan Ratna keras-keras.
“Auuuwww…”
***
“…Jadi selain Allah tidak boleh disebut Khaliq,” terang Pak Majid saat pelajaran pertama, Aqidah Akhlaq.
Guru yang satu ini gampang banget dirayu. Jadi sering dapat keringanan deh Kadang mau dikasih PR, tapi nggak jadi. Bahkan ulangan pun bisa ditunda. Wah, wah, wah, kira-kira dosanya sebesar apa ya?
“Nah, sekarang kalian kerjakan latihan pada halaman 25-26 ya.”
“Wah, Pak. Udah jam 9 tuh,” suara leni menggelegar.
“Iya tuh, Pak,” Uni ikut-ikutan. ‘Sejak kapan Uni ikut-ikutan ngerayu Pak Majid?’ pikirku. Kemudian Pak Majid melihat jam dinding.
“Oh iya, ya. Baiklah kalau begitu jadikan PR saja,” kata Pak Majid.
“Yah, sekarang kami kan udah kelas enam, dan bentar lagi ujian. Jadi kami punya banyak PR dari guru-guru yang lain. Nggak usah ya, Pak. Kan capek,” kata Leni manja.
“Ya sudah kalu begitu. Soalnya dikerjakan minggu depan saja. Assalamu’alaikum,” ucap Pak Majid kemudian.
“Wa’alaikum salam,’ jawab anak-anak serentak. Kemudian anak-anak keluar kelas dengan gaduh.
“Ni, sejak kapan kamu berani ngerayu Pak Majid kaya tadi?” tanyaku pada Uni.
“Nggak tahu. Tiba-tiba aja aku ngomong begitu,” jawab Uni sekenanya.
“Ratna, ikut aku yuk. Bentar aja,” Lila yang baru masuk kelas menggandeng tangan Ratna. “Pril, aku pinjam Ratna dulu ya.”
“Kenapa nggak disewa aja sekalian, satu jam seribu,” candaku.
“Tapi nggak apa-apa kan?”
“Udah bawa aja. Aku di sini sama Uni, iya kan, Ni?” tanyaku sambil menoleh pada Uni.
“Iya, iya,” jawab Uni.
Lila dan Ratna keluar kelas sambil bergandengan. Perasaanku jadi nggak eanak. Entah mengapa kurasa ini berhubungan denganku. Aku takut Ratna dan Lila membicarakanku.
***
Aku menghempaskan diri di tempat tidur. Perlahan kututup mataku.
‘Kira-kira Lila dan Ratna ngomongin apa ya?Apa mereka ngomongin kejelekanku?’ pikirku.
Emang sih, aku nggak begitu dekat dengan Lila, karena aku nggak suka sama sifatnya. Dia itu selalu jadi penghalang hubunganku dengan Uni dan Ratna. Tiap kali kami jalan bertiga, dia langsung ikut dan berada di antara kami. Jadi kalau kami gandengan tangannya jadi terlepas. Gimana nggak kesel coba? Trus, kalo kita lagi asyik ngobrol, Lila pasti manggil salah satu dari kami. Mau minta tolong lah, janji mau ke les barenga lah, jadinya percakapan kami nggak komplit. Kenapa sih ada orang kayak dia?
Selain itu Lila orangnya nggak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Dia sering ngebicarain tentang kejelekan orang lain. Kadang masalahnya sepele di lebih-lebihin. Emangnya dia nggak nyadar apa, kalau dirinya tuh lebih hina dari orang yang dia bicarain? Udah sering bicarain orang yang tidak tidak, dilebih-lebihin pula. Kebayang nggak sih, gimana perasaan orangnya kalu tahu? Dasar tukang fitnah!
Ups, kok jadi kelewatan gini? Terlau sadis kali ya? Tapi emang bener sih, Lila itu tukang fitnah. Aku takut dia itu bicara yang nggak nggak tentang aku ke Ratna. Mudah-mudahan aja nggak. Soalnya aku nggak mau Ratna jadi cuek sama aku. Emang sih masih ada Uni, tapi kalau Uninya ikut-ikutan gimana coba? Uni itu kan percayaan banget orangnya. Duh, kenapa aku jadi ketakutan kayak gini ya?
Karena penasaran campur takut, aku mengambil Hpku dan mengirim pesan sama Uni. Mungkin Uni tahu apa yang dibicarain Ratna dan Lila.
Ni, kmu th ngg’ Ratna dan Lila ngmngn pa td d sklh? Kr2 da hbngnx ma aq ngg’ ya, aq jd kpkrn nih! Blz.
Selesai SMS-an aku kembali tiduran sambil menunggu jawaban dari Uni. Lama aku menunggu, tapi Hpku belum juga bunyi. Aku jadi semakin harap-harap cemas. Sambil menunggu jawaban dari Uni aku membaca novel hadiah dari Mba’ Say. Biar nggak terlalu cemas.
Akhirnya Hpku bunyi. Segera kulihat layarnya dan ternyata memang balasan dari Uni.
Kpkrn gmn mksd kmu? Aq ykn mrk ngg’ ngmngn pa2 aplg ttg kmu. Plg2 Lila cm mnt d tmn k rmhx ambl bk yg ktggln. Coz, aq dgr dr Yuli ktx bk Fiqih Lila ktggln. So, don’t worry gitu loh!!!
Uuuh, Uni. Orang lagi serius nanggepinnya berguarau. Tapi bener juga sih. Mungkin aja Lila Cuma minta ditemenin Ratna ke rumahnya doang. Aku kok jadi su’udzon gini sih, sama Ratna lagi. Duh, Ratna maaf ya.
***
Bel baru saja berbunyi, sementara aku baru sampai di pintu gerbang sekolah dengan terengah-engah dan berusaha mengatur nafas. Untung belum terlambat, tapi tinggal dikit lagi. Kelamaan nunggu Apink sih! Soalnya kalau terlambat langsung dicatat di buku besar dan kena hukuman. Kalo nggak berdiri di halaman sekolah, ya mungut sampah yang menggunung di halaman.
Aku berlari menuju kelasku yang berad di ujung sekolah, dekat kantin.
“Hampir telat nih, tumben,” sapa Yuliu yang duduk di depanku.
“ Iya nih. Kelamaan nunggu Apink,” aku menjwab dengan terengah-engah. “Uni dan Ratna man, kok nggak kelihatan?” tanyaku ketika melihat tempat duduk mereka kosong. “Lila juga.”
“Ke kamar mandi sebentar. Kalau Lila belum datang.”
“Ternyata masih ada yang lebih telat dari aku,” kataku.
“Jelas aja. Jam setengah tujuh baru mandi, apalagi orangnya memang nggak disiplin,” tambah Yuli.
“Woi April,” sebuah suara mengagetkanku dari belakang dan aku kenal banget suara itu. “Nih, foto Alvin.”
“Makasih ya, Len,” ucapku girang sambil berkali-kali mencium foto itu.
“Kamu kok suka banget sama Alvin, padahal Alvin nggak begitu tampan kalau menurutku. Apalagi kalau dibanding sama Egi, seujung rambut pun Alvin nggak dapet ketampanannya. Mendingan Egi aja tuh lebih ca’em,” cibir Leni.
“Biarin suka-sukaku dong mau suka sama siapa aja,” timpalku.
Yuli dan Leni tertawa.
***
Kurasa baru kali ini aku marah pada Uni dan Ratna. Dan kemarahanku ini gara Lila.
Waktu itu aku lagi asyik-asyiknya ngobrilin tentang film “Mr. Deeds” yang baru kemarin aku tonton sama Uni dan Ratna. Tapi tiba-tiba Lila bisik-bisik sesatu sama Ratna sambil melirikku sehingga aku tahu kalau itu tentang aku. Setelah kutanyakan pada mereka ada apa, mereka bohong padaku. Malahan Uni ikut-ikutan dan bohong.
Mereka bilang, mereka amu ngadain pesta kejutan di ultahnya Nabila. Padahal ultah Nabila udah lewat. Dan sampai jam pelajaran terakhir aku tidak bicara dengan Uni dan Ratna. Bahkan sampai bel pulang berbunyi.
Saat aku sudah bergegas pulang, kudengar Lila mengatakan sesuatu pada Nabila dan Ana.
“Nabila, Ana jangan pulang dulu. Yuli kamu juga jangan pulang dulu. Ratna sama Uni mana?” tanya Lila.
‘Ha? Uni dan Ratna juga? Kalau mereka diajak, kenapa aku nggak? Pasti ada sesuatu deh, mungkin mereka mau membicarakan aku. Tapi mana mungkin Ratna amu ikut? Itu kan ghibah? Lagian Ratna terkenal alim dan selalu menjauhi perbuatan yang seperti itu,’ ucapku dalam hati.
Tapi meski penasaran aku tetap pulang karena menganggap Ratna tak akan mau melakukan perbuatan itu. Lagi pula mungkin sekarang Uni dan Ratna sudah pulang.
“Pril, pulang bareng yuk!” ajak Nuril tiba-tiba.
Baru sja aku mau mengatakan ‘ya’, aku melihat Uni dan Ratna kembali ke kelas, jadi aku urungkan niatku.
“Tunggu, ikut aku yuk,” ajakku.
“Kemana?” tanyanya.
“Udah ikut aja.”
Langsung kutarik lengan Nuril dan berlari ke halaman belakang sekolah. Kebetulan kelasku agak ke belakang, jadi dekat dengan halaman belakang.
“Ada apa, Pril?” desak Nuril.
“Di kelas, teman-teman-teman lagi ngobrolin sesuatu dan kayaknya tentang aku deh. Aku pengen denger,” jawabku dengan mengecilkan suaraku karena sudah berada pas di belakang kelas.
Aku mencoba mendengarkan dengan baik-baik, tapi sangat sulit. Sepertinya mereka mengetahui keberadaanku dan diam.
“Gimana, Pril, mereka bicara tentang apa?” celetuk Nuril. Aku berbalik dan berhent mencuri dengar.
“Percuma,” ucapku dengan nada putus asa, “mereka tahu aku ada di sini. Sebaiknya kita pulang aja, sebelum mereka keluar.”
Tanpa bicara apa-apa lagi, Nuril mengikutiku pulang. Kami pulang tanpa suara.
Tetapi di depan gerbang sekolah, ada sebuah suara yang memanggilku dengan terburu-buru.
“Pril, April,” panggil Rya sambil berlari tergesa-gesa. “Aku tahu apa yang mereka bicarakan.”
“Maksud kamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Sudahlah, Pril. Aku tahu kamu dari tadi ada di belakang kelas lagi mencuri dengar yang mereka bicarakan. Aku lihat kamu dari jendela. Mereka emang bicara tentang kamu.”
“Tu kan, Nur,” kataku sambil menyenggol lengan Nuril.
“Aku sih nggak engar banyak, tapi kayaknya mereka panik banget.”
“Maksud kamu panik gimana?” tanyaku penasaran.
“Pokoknya mereka itu bicara tentang kejelakanmu, sampe-sampe Nabila nyibirin kamu.”
Aku terkejut mendengar kalimat Rya barusan. Nabila nyibirin aku? Bagaimana bisa? Emang sih aku bukan teman dekat dia, tapi dia juga sering barengan sama aku. Belajar bersama, ke kantin bersama, berangkat sekolah bersama, dan aku nggak pernah curhat apa-apa sama dia. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia nyibirin aku? Dia kan nggak tahu apa tentang aku.
“Uadah ah, aku nggak mau dengar sesuatu tentang mereka lagi. Terserah mereka mau ngapain, mau ngomongin aku, mau nyibirin aku, terserah. Entar kan dosaku berkurang.”
Aku pulang dengan hati panas dan diikuti oleh Nuril.
“Kamu percaya sama omongan Rya?” tanya Nuril tiba-tiba.
“Nggak tahu juga sih, tapi kayaknya Rya sesrius,” jawabku, “ aku udah nyampek nih,” kataku ketika samapai di depan rumah.
“Sampai ketemu besok.”
***
Malam ini di mesjid aku yang biasanya ngaji bersama Uni, malam ini tidak lagi. Aku sealu menghindar jika Uni duduk di dekatku. Karena tidak punya teman untuk berbagi cerita, mendekati Nuril yang memang selalu sendiri.
“Yang tadi siang itu gimana? Udah tahu kejadian sebenarnya?” tanya Nuril.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kenapa nggak tanya orangnya sendiri?”
“Siapa lagi yang mau ditanyain?”
“Itu, Uni. Biasanya kamu sama dia, kan?” Nuril menoleh kepada Uni dan tersenyum padanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Uni membalasnya dengan tersenyum juga.
“Ada apa?” tanyaku yang tak mengerti melihat kelakuan Nuril dengan Uni.
“Nggak, nggak ada apa-apa,” kata Nuril.
Jawaban Nuril tadi masih belum membuatku puas. Seakan-akan Nuril menyembunyikan sesuatu dariku. Sebenarnya aku mau mengutarakan pikiranku, tapi mau gimana lagi, hanya dia yang bisa menemaniku saat ini. Ah, andai Uni tidak ikut kembali ke kelas tadi dan aku tidak akan curiga. Jika itu tidak terjadi pasti aku sekarang sudah menceritakan sesuatu pada Uni, baik itu film, novel, komik, atau cerita lainnya.
“Kamu benar-benar tidak mau bicara dengan Uni atau pun Ratna?” tanya Nuril lagi.
“Tentu saja.”
“Sepertinya kamu harus urungkan niatmu untuk saat ini,” kata Nuril.
“Apa maksudmu?”
“Lihat, Uni menuju kesini dan aku harus pergi.”
Aku menoleh, dan ternyata memang benar, Uni menuju ke sini.
“April,” suara Uni membuka pembicaraan, “kamu marah ya dengan kejadian tadi siang?” tanya Uni.
“Kok kamu biasa tahu?” aku balik bertanya.
“Rya yang bilang.”
Aku tidak menjawab, tapi aku tidak menatapnya sama sekali.
“Pril, kalo kamu emang marah, aku minta maaf. Tapi jujur, waktu itu kita ngak ngomongin kamu. Lila cuma ngajak aku, Ratna, Nabila, Ana, dan Yuli untuk belajar kelompok di hari jum’at. Itu aja kok,” kata Uni.
“Kok aku nggak diajak?” tanyaku.
“Ya itu masalahnya. Tadinya Lila emang nggak mau ngajak kamu. Kamu tahu kan dia itu orangnya kayak apa? Tapi aku dan Ratna nggak mau belsjar kelompok sama dia, karena kamu nggak diajak. Jadi belajar kelompoknya nggak jadi,” terang Uni.
“Lho, kata Rya Nabila nyibirin aku?”
“Ya ampun, Pril. Justru Nabila nyibirin Lila, bukan kamu,” Uni tertawa.
“Oh, jadi kalian benar-benar nggak bicara tentang aku?” tanyaku memastikan.
“Ya iyalah.”
“Tapi kenapa Rya bilang begitu?”
“Mungkin dia salah mengerti, Pril.”
Aku lega mendengar penjelasan dari Uni. Aku lega karena ternyata dugaanku salah. Uni dan Ratna memang teman terbaikku.
***
“Rat, katanya kemarin kamu dan Uni diajak Lila belajar kelompok?” tanyaku keesokan harinya.
“Iya. Tapi kami nggak mau karena kamu nggak diajak,” jawab Ratna mantap.
“Bagus dong. Kemarin aku sempat su’udzon sama kamu dan Uni loh. Cuma gara-gara Lila nggak ngajak aku. Tapi tadi malam Uni udah bilang yang sebenarnya sama aku.,” kataku.
“Pril, Pr matematika yang kemarin susuah banget. Kiata kerjain bareng yuk,” ajak Ratna.
“Oke, tapi Uni juga diajak yah. Biar dia nggak nyontek mulu. Di mana?” tanyaku.
“Di rumah kamu aja deh,” jawab Ratna.
“Kapan?”
“Mmm…, kapan ya? Eh iya, hari jum’at nanti kan kita libur, jadi hari itu aja. Kan lebih leluasa.”
Aku mengangguk. Kebetulan hari jum’at pas hari ultahku.
“Oh ya, Pril. Kamu jemput aku di sekolah ya,” pinta Ratna.
“Oke, jam delapan aku jemput kamu di sekolah,” aku mengacungkan jempolku.
***
Hari ini hari jum’at. Aku sedang bersiap-siap menjemput Ratna ke sekolah. Sebenarnya sih aku malas jemput dia, karena hari ini kan libur jadi ingin malas-malasan gitu. Tapi mau gimana lagi aku kan udah janji sama dia, lagi pula dia itu sahabat dekatku.
“Mba’ April mau kemana?” tanya Apink yang tiba-tiba ada di belakangku.
“Cuma ke sekolah kok,” aku membetulkan letak jilbabku.
“Apink ikut, ya?”
“Jangan, Mba’ April cuma sebentar kok. Sebentar lagi juga datang, Cuma mau jemput teman Mba’ April doang,” kataku.
Aku langsung berangkat ke sekolah. Ternyata Uni juga menungguku di sekolah.
“Lho kamu juga nunggu aku?” tanyaku.
“Iya, aku lihat Ratna ke sini jadi aku juga ke sini,” jawabnya.
“Terus, Ratnanya mana?”
“Ada di dalam. Yuk!” ajak Uni.
Sejenak aku curiga, kenapa Uni tidak langsung panggil Ratna. Tapi aku buang jauh-jauh rasa curiga itu, karena di dalam aku mendemngar suara Ratna. Dan tiba-tiba…
“Kejutan!!!” seru teman-temanku.
Aku kaget, karena banyak teman-temanku di sini. Padahal aku cuma ngundang Ratna. Kenapa jadi banyak gini?
“Ada apa?” tanyaku tak mengerti.
“Sekarang kan hari ultah kamu,” Ratna yang menjawab.
“Ya ampun, iya juga. Padahal aku udah menunggu-nunggu hari ini, tapi kok aku yang lupa ya?”
“Sebenarnya sudah lama kami merencanakan pesta kejutan ini. Dan waktu itu, waktu kami mengadakan pertemuan rahasia saat jam pulang sekolah, sebenarnya kami lagi membicarkan tentang pesta kejutan ini,” sahut Nabila.
“Terima kasih semuanya. Aku benar-benar bahagia hari ini,” ucapku.
“Nah, gitu dong. Makanya jangan keburu curiga dulu,” Uni menepuk pundakku, keras sekali.
“Iya, gimana nggak curiga. Lila ngajak kalian di depanku sih.”
“Udah ngomongnya. Sekarang lihat dong hadiah dari kita-kita. Sorry ya nggak ada kue tartnya, habis mahal banget sih,” suara Ana menyela.
“Nggak apa-apa, kok. Kalian bikin pesta kejutan ini aja aku udah seneng banget,” jawabku, mengambil salah satu kado yang terbungkus rapi. Tapi baru saja aku menyentuhnya, sebuah balon meledak, dan potongan kertas kecil langsung mengguyurku. “Aduh, apaan nih?”
“Hahaha, kami bikin itu semalaman,” tawa Uni dan Ratna meledak bersamaan.
“Kami juga bikin,” Nabila dan Ana menaburkan potongan kertas mereka juga ke arahku.
“Aduh,” aku berusaha membersihkan potongan kertas itu.
***
Wah, pesta tadi sebenarnya sangat lama, dan aku menikmatinya. Senang rasanya punya teman seperti mereka. Dan aku berjanji pada mereka untuk nggak akan curiga lagi.
Hadiah mereka boleh juga. Hadiah dari Ratna kalung putih berliontin hurf “A” dan sebuah jepit rambut. Dari Uni udah ketahuan duluan, foto Alvin AFI. Dari Nabila dan Ana paling aneh, dari luar kelihatan gedeee banget, tapi isinya Cuma sepulah biji permen Kino rasa cokelat. Lila juga memberiku hadiah, yaitu sekotak hiasana rambut dan beberapa gelang.
Tak lama setelah itu, Hpku berbunyi. SMS dari Mba’ Say.
Happy B’day adikku sayang, sorry Mba’ Cuma bisa ngirim SMS. Mau gimana lagi kan jarak kita jauh banget. Tapi Mba’ janji nanti kalo Mba’ dah pulang, Mba’ bawa hadiah Mba’. Dijamin bakalan bikin kamu nyengir terus deh!
Aku tersenyum membaca SMS dari Mba’ Say yang sama sekali nggak di singkat. Jadi nggak sabar nunggu hari kedatangan Mba’ Say.
Tapi aku juga nggak terlalu buru-buru, karena sebentar lagi aku akan lulus dan itu berarti aku harus berpisah dengan Uni dan Ratna. Tapi aku mencoba hilangkan rasa sedih itu, dan mencoba menikmati hari terindah dalam hidupku.
Pokoknya ultahku yang ke-12 ini sangat berkesan. Semoga aja, ultahku yang ke-13 akan lebih berkesan lagi.

(Ne Cerpen dibuat pas kelas 6 SD lho0ouuuu)

ADIK KECIL? HUH, NYEBELIN BANGET TUH!

“Hah? Adik kecil? Mama hamil lagi?,” begitu tanggapanku mendengar kata-kata Mama.
“Iya, jadi sebentar lagi kamu nggak sendirian lagi. Ada adik kamu yang akan nemenin kamu,” jawab Mama.
“Jadi bentar lagi Ovy nggak akan jadi anak tunggal?,” tanyaku lagi.
Mama hanya mengangguk. Dari wajah cantiknya terpancar keceriaan yang tiada tara. Padahal aku paling nggak suka kalau “Anak Tunggal” untukku terhapus dan digantimenjadi “Anak Sulung”. Kalau jadi anak tunggal kan enak. Dimanja, disayang, perhatian orang tua tidak terbagi-bagi. Aku jadi cemberut
***
“Hei,” seru Indri membuyarkan lamunanku. “Kok melamun aja sih?”
“Nggak, Cuma sebel aja.”
“Kenapa sebel? Kasih tahu dong, ya semacam curhat-curhatan gitu. Katanya kalau orang punya masalah tapi dipendam sendiri bisa jadi orangnya gila lho.”
“In, aku masih waras. Mama hamil lagi. Dan bentar lagi aku akan punya adik,” ucapku serius.
“Maksud kamu, kamu takut kasih sayangmu terbagi?,” Indri menghela nafas, “tidak mungkin, Vy. Papa dan Mama kamu akan tetap menyayangimu,” sambungnya.
“Aduh, kamu tidak mengerti perasaanku sih, In. Kamu tahu kan yang namanya bayi? Tengah malam waktu aku lagi asyik tidur, dia bangun dan nangis. Mama akan semakin sibuk mengurusnya,” paparku kesal.
“Ya sudahlah. Aku nggak mau ikut campur. Sudahlah, ayo kita ke kelas. Bentar lagi bel berdentang,” ajak Indri.
Walau terpaksa aku turuti ajakannya.
***
Malam itu tanpa sengaja aku mendengar percakapan Mama dan Papa.
“Kata dokter bayi kita sudah berumur 7 bulan,” Mama berser-seri.
“Ovy pasti senang punya adik,” Papa tak kalah senangnya.
Aku tak sanggup lagi mendengar percakapan mereka. Belum lahir sudah dibicarakan. Apalagi kalau sudah lahir. Kuhampiri Nelly, kucing kesayanganku yang dari tadi duduku bermanja-manja di tempat tidurku.
“Nel, sebentar lagi aku akan punya adik. Aku sebel banget. 2 bulan lagi dia akan lahir. Pokoknya aku nggak akan pernah sayang sama tuh bayi. Nyebelin banget sih!,” ucapku sambil mengelus bulu halus Nelly.
Kupeluk tubuh Nelly.
“Meong… meong…,” Nelly berlari keluar.
Kubiarkan dia berjalan sesuka hati. Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur yang empuk. Kututup mataku perlahan dan terbang menuju “Dream World”.
***
2 bulan kemudian.
Bayi itu lahir dengan tangis yang lumayan juga suaranya. Dia lahir di RS. Al-Hidayah. Keadaan rumah jadi semakin sibuk. Mama jadi sering ke swalayan untuk belanja keperluan sang bayi. Dan namanya? Namanya rada mirip denganku. Namanya Stevie Chintya Sheraldy, dipanggil Stevie. Bagi mereka rumah ini semakin rame dan ceria sejak ada Stevie. Tapi bagiku rumah ini kelam dan suram sejak ada bayi yang menyebalkan itu.
“Vy, Ovy tolong jagain adik kamu dong. Mama mau nyiapin bubur bayi dulu,” perintah Mama.
Tentu saja aku terpaksa menuruti perintah Mama. Aku berjalan menuju kamar adikku dengan enggan. Aku merasa muak meski melihat wajah mungilnya. Kapan besarnya sih?
***
Tengah malam aku terbangun karena mendengar tangis bayi yang menyebalkan itu. Gangguin orang tidur aja. Aku beranjak dari tempat tidurku dan keluar kamar dan menuju ke kamar bayi itu.
“Duh, bayi ini gangguin aja. Nggak berhenti juga nangisnya. Diam dong. Nyusahin!,” keluhku.
“Ovy kamu jangan bilang begitu. Bayi ini kan adik kamu,” protes Mama sambil terus mendiamkan tuh bayi.
“Nggak. Bayi itu hanya mengganggu saja. Dia telah menghancurkan kebahagian Ovy,” ucapku berapi-api.
“Ovy! Kamu bilang apa tadi? Dia itu adik kamu dan tidak pernah menghancurkan kebahagiaan kamu. Lagian kamu tidak kesepian, kan. Sekarang udah ada adik kamu yang akan selalu menemani kamu,” Papa tak kalah marahnya.
“Menemani? Bagi Ovy, Ovy tetap kesepian selama Papa dan Mama lebih sayang sama Stevie. Kalian udah melupakan Ovy,” seruku sambil menangis. Aku tak sanggup lagi memendam perasaan benciku pada tuh bayi. Aku berlari ke kamarku dan menangis tersedu-sedu.
***
Perasaan benciku pada Stevie semakin menjadi-jadi. Kini dia sudah menjadi gadis kecil yang lincah. Kelincahannya itu yang membuatku muak. Suatu hari tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan Mama dan Papa.
“Ma, gimana kalau Stevie kita sekolahkan ke Singapura?”
“Wah, itu ide yang bagus. Tapi bagaimana dengan Ovy. Dia pasti iri pada adiknya.”
“Ah, Ovy lagi. Sudahlah jangan mikirin dia. Papa sudah bosan dengan kelakuannya. Dia hanya membuat kita repot. Lebih baik kita urus sekolah Stevie,” ucap Papa dengan tenang.
Mendengar ucapan Papa aku langsung naik darah. Segera kutinggalkan tempat yang begitu kelam itu.
***
“Indri,” aku menangis dan membenamkan wajahku di pangkuan Indri. “Mama dan Papa tidak sayang lagi sama aku. Huaaaa…”
“Kenapa kamu bilang begitu?,” Indri mendongakkan kepalaku.
“Aku dengar sendiri. Katanya mereka sudah bosan dengan kenakalanku, aku hanya bikin repot saja. Mereka lebih sayang sama Stevie.”
“Sudahlah, mungkin mereka memang kesal padamu. Nanti mereka sadar juga.”
Aku terus mengingat kata-kata Indri. Untuk sementara aku tinggal bersamanya. Lama-kelamaan aku merasa rindu pada keluargaku. Tapi kalau ingat wajah Stevie yang menyebalkan aku jadi semakin benci rumahku. Masih terngiang di telingaku kata-kata itu…
“Kak, lihat nih, Stevie dibeliin boneka baru,” ucapnya sambil memamerkan boneka Patricknya.
“Biarin. Kakak juga juga mengoleksi boneka Hello Kitty,” cibirku penuh kesombongan.
“Tapi kakak belum punya kaset play-station terbaru. Oh, ya. Kata Mama Stevie paling disayang sama Mama. Mama juga pernah bilang bahwa Kak Ovy nyebelin banget. Katanya Mama Cuma sayang Stevie.”
Ucapan Stevie membuatku panas. Segera kudorong dia ke kolam renang.
Byurrr……
“Rasain tuh anak sialan,” ucapku penuh kekesalan. Aku tahu kalau dia tidak bisa berenang.
“Kak, tolong Stevie. Stevie nggak bisa berenang.”
“Vy, tadi aku ketemu ortumu,” suara Indri membuyarkan lamunanku. “Mereka menanyakan keadaanmu. Mereka menyuruhmu pulang.”
“Aku kan sudah bilang aku nggak mau pulang. Pokoknya aku akan tetap benci Stevie. Lagian mereka mungkin bahagia tanpa aku.”
Indri menghela nafas. Dia maklum saja mengapa aku bicara begitu.
***
Hari ini adalah ultah Stevie yang ke-4. Hari ini adalah hari yang paling buruk bagiku. Terbayang olehku wajah Stevie yang ceria melihat kue ultah yang mewah.
“Vy,kamu nggak mau datang di ultah Stevie?,” tanya Indri.
“Buat apa aku datang. Menyusahkan mereka aja,” cetusku.
“Tapi dia kan adikmu.”
“Sejak kapan aku menganggapnya adik? Benci tetap benci.”
Indri meninggalkanku. Tak lama kemudian dia muncul lagi dengan amplop kecil.
“Lalu mau kau apakan ini?,” Indri memberikan kertas kecil padaku.
Kutatap kertas kecil berwarna biru muda itu. Lalu kusobek kertas itu seraya berkata, “gampang, kan?”
Indri kembali menghela nafas.
“Seharusnya kamu datang ke ultahnya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?,” Indri kembali menasehatiku. “Aku tahu kamu benci pada adikmu, tapi kalau kau terus melawan masalahmu dengan amarah yang terus berkobar, kapan selesainya? Vy, kamu harus tahu kalau suatu masalah jangan diselesaikan dengan amarah, tapi dengan kesabaran dan hati lapang. Mungkin ortumu tidak suka padamu karena sifatmu yang tidak baik. Cobalah, Vy. Cobalah untuk bersifat baik. Cobalah untuk sayang pada adikmu. Jangan terus merasa sebal padanya. Siapa tahu Stevie juga sayang padamu,” Indri terus menasehatiku dengan penuh kebijakan.
Meski tadinya aku beranggapan bawa Indri itu sok bijak, Tapi menurutku juga iya. Memang tiada salahnya aku mencoba. Tapi aku tetap merasa benci pada Stevie. Tak akan hilang. Bagaimanapun juga dia adalah orang yang telah merebut kasih sayang Papa dan Mama dariku. Aku meninggalkan Indri sendirian di ruang tengah.
***
Hari ini kurasakan alam begitu lain padaku. Alam lebih indah. Lebih menyejukkan. Hari ini juga kuraskan Indri berubah dan begitu lain dari biasanya. Dia lebih perhatian padaku.
“Vy, aku punya kejutan,” ucap Indri yang membuatku tersedak saat minum teh.
“Kejutan apa?”
“Nih,” Indri menyerahkan sebuah kardus kecil yang imut dengan pita pink yang indah.
Kubuka kotak itu. Di dalamnya ada boneka Hello Kitty yang lucu dan menggemaskan, dan foto keluargaku. Aku jadi ingat mereka, masa lalu yang indah sebelum ada Stevie. Tak terasa dua butir kristal bening menggelinding di pipiku.
“Kamu kangen sama mereka?,” tiba-tiba Indri menepuk bahuku.
Aku mengangguk.
“Kamu kangen Mama? Sekarang sudah terlambat. Mereka akan berangkan ke Singapura hari ini.”
Aku terkejut.
“In, antarkan aku ke Bandara. Cepat,” Aku segera menarik tangan Indri.
***
Sampai di Bandara, ku cari wajah cantik Mama. Tapi wajah itu belum ku temukan. Aku hampir putus asa. Tapi kucoba untuk bertanya.
“Mas, mas. Pesawat jurusan Jakarta-Singapura kapan berangkanya?,” tanyaku.
“Oh, sudah berangkat 10 menit yang lalu,” jawab orang itu sambil tersenyum.
Bagaikan seribu petasan yang meledak. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kupeluk tubuh Indri.
“In, aku menyesal. Aku ingin kembali bersama keluargaku. Aku… huaaaaa…”
‘Sudahlah. Mungkin lain waktu kau akan bertemu dengan keluargamu,” Indri mengelus rambutku dan mencoba menenangkanku.
Aku pulang dengan tangan hampa. Kupandang foto itu lekat-lekat. Rasanya kebahagiaan, tawa, canda dan senyum mereka mengiringi dan menguatkan setiap langkah-langkahku. Aku akan tetap hidup menjadi Ovy. Tapi bukan Ovy yang dulu. Bukan Ovy yang takut kasih sayangnya terbagi-bagi.
***
9 tahun kemudian…
Hari ini kudapati alam kembali lain bagiku. 9 tahun telah berlalu. Hari ini adalah 9 tahunnya dimana Indri memberiku boneka Hello Kitty sambil mengucapkan “HAPPY BIRTHDAY”. Hari ini juga ke-9 tahunnya dima aku berpisah dengan ortuku. Kini aku bukan anak kecil lagi. Kini aku bukan anak kecil yang tidak mau membagi kasih sayang dengan adik kecil. Sekarang aku sudah dewasa. Tadi pagi Indri kembali mengucapkan happy birthday padaku. Ya, hari ini adalah ultahku, hari saat aku berpisah dengan mereka.
Kulangkahkan kakiku dengan pasti. Kesedihan, amarah, kebencian telah kuhapus dalam diary hidupku. Kini rasa rindu yang menggebu menyelimuti hariku. Mama, Papa, Stevie, Nelly, kamar kita-kita, rumah indah, masakan Mbo’ Oda, kebijakan dan keramahan Bang Mursalin, Boneka Hello Kitty, bunga mawar, semuaaaaa… nya kurindu. Setiap hari minggu pagi biasanya kutengok rumahku yang penuh kenangan. Hari ini juga kutengok rumahku. Saat telah memasuki halaman, suara yang tak lagi asing bagiku kembali kudengar.
‘Meong… meong… meong…,”
“Nelly,” kupeluk Nellyku yang manis. “Kamu tidak ikut mereka? Atau mereka yang tidak membawamu?,” tanyaku sambil menangis.
“Tidak. Kami merawatnya di Singapura. Kami membawanya, karena kami tidak mungkin menghapus semua kenangan tenatang dirimu.”
Suara itu. Suara yang merdu.Pasti dia.
“Mama,” aku langsug memeluk tubuh Mama. “Maafkan… maafkan Ovy, Ma,” ucapku tersendat-sendat.
“Mama tahu. Mama sudah memaafkan kamu. Mama juga sangat kangen sama kamu. Itulah alsannya kami putuskan untuk kembali ke sini lagi,” Mama tersenyum. “Lihatlah, adikmu juga kangen padamu.”
Kupandang Stevie yang kini sudah remaja. Kupeluk tubuhnya sambil terus menangis.
“Maafkan kakak ya, Stev.”
“Stevie udah maafin kakak kakak kok.”
Kami berpelukan. Pertemuan ini sungguh membuatku bahagia. Indri juga kuhubungi untuk menikmati pertemuan ini. Sungguh, aku sangat bahagia.
“Gimana, Vy. Masih takut juga ortu bakalan nggak sayang sama kita? Atau kamu masih benci sama Stevie?,” goda Indri.
Aku hanya tersipu. Kugandeng erat tangan Stevie, adikku. Kini tak ada lagi kata-kata “ADIK KECIL? HUH… NYEBELIN BANGET TUCH!
***





By : ARIFAH

JANGAN BERITAHU NIA

“Eh, jangan beritahu Nia ya, kalau aku suka dia,” bisik Rahman pada Hormadi yang duduk santai di hadapannya.
Tapi rupanya Hormadi sama sekali tak mempedulikan ancaman Rahman. Ia menghampiri Nia kecil yang saat itu bermain-main dengan kapur tulis di depan kelas.
“Nia, tahu nggak? Rahman suka kamu,” kata Hormadi sambil tertawa.
Nia kecil yang sama sekali tidak mengerti akan hal itu, menggerutu. Di samping itu, kebenciannnya pada Rahman juga menjadi penyebabnya. Siapa coba yang suka sama si Kepala Jumbo Rahman?
“Bohong, Ni! Jangan percaya sama dia,” seru Rahman.
‘Ih, siapa juga yang mau percaya?’ Nia berucap dalam hati. Lalu dengan perasaan kesal dia melempar penghapus dan meninggalkan kelasnya.
^^^
Aku tersenyum sendiri mengingat memori lama saat aku masih kelas I MI dulu, waktu aku masih membenci manusia ‘kepala besar’ seperti Rahman. Tapi kini, aku duduk bertopang dagu, tersenyum kecil, masih sekelas dengannya dan anehnya, menyukainya. Bahkan mungkin perasaanku ini bukan sekedar suka, tapi CINTA….
Aneh, ya! Awalnya aku juga tidak mengerti saat perasaan itu tiba-tiba datang. Waktu aku baru masuk MTs aku merasa ada sesuatu yang beda saat aku menatapnya. Perasaan yang begitu indah, bahagia, sakit, perih… dan lain-lain. Lalu aku ceritakan itu semua pada kedua sahabatku, Ifa dan Fat.
“Apa?” pekik Ifa. “Rahman? Yang bener aja? Yah, tapi kalau kamu emang udah suka ya mau gimana lagi. Menurutku sih, wajar-wajar aja.”
“Iya, Uni. Cinta itu memang sulit untuk diterka. Jadi kamu nggak perlu khawatir sama perasaan itu. Manusiawi kok!” si bijak Fat mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya.
“Kita sih, dukung-dukung aja!” kata Ifa yang membuatku senang sesaat, tapi kemudian langsung cemberut saat dia melanjutkan, “Tapi terus terang ya, Uni. Aku tuh, agak kurang setuju juga soalnya dia itu orangnya jutek abiz! Udah gitu nyebelin, sombong, pokoknya ngeselin banget deh! Jangan marah ya, Uni!”
Tapi setelah hari itu, Ifa mulai bersikap baik pada perasaanku. Tiap kali dia melihat Rahman, pasti langsung memanggilku agar aku bisa melihatnya walau hanya sekilas. Begitu juga dengan Fat. Tapi aku sadar bahwa perasaanku bertepuk sebelah tangan. Dia tidak mungkin menyukaiku juga. Lihat saja sikapnya terhadapku, bertegur sapa saja kita tidak pernah. Awalnya ku pikir itu mungkin karena sikapnya yang dingin, tapi akhirnya aku sadar bahwa aku memang bukan orang yang dekat dengannya dan aku memang tidak punya hak untuk sekedar mendapat senyuman darinya.
Andai memori lama itu terulang kembali. Saat aku masih menjadi Nia kecil yang suka bermain kapur tulis di depan kelas dan dia adalah Rahman si Kepala Jumbo yang usil. Saat aku masih membencinya. Saat Hormadi bilang dia suka padaku tapi aku jadi kesal dan meninggalkan kelas. Tapi jika kali ini Hormadi kembali mengatakan bahawa Rahman menyukaiku, aku tidak akan kesal lagi. Aku akan menjawab senang, dan tersenyum bahagia.
Mungkin aku terlalu dini untuk merasakan ini. Karenanya, aku melewatkan hari-hariku dengan hanya mengagumi tanpa dicintai. Terkadang merasa sakit, tapi aku tahu bahwa itu harus ku terima. Harusnya aku bersyukur karena Tuhan telah memberiku perasaan. Itu artinya aku adalah manusia biasa walau aku harus puas hanya dengan menjadi pengagum rahasia. Jadi kunikmati saja rasa sakit itu.
Kemudian, rasa sakit yang kunikmati itu berbuah harapan saat suatu malam Hpku bersenandung ceria, dan aku menerima SMS yang benar-benar singkat.

< Mlm,cw’! >

Aku berpikir. Nomor yang tertera di situ sama sekali tak ku kenal.
‘Siapa sih, kayaknya pelit banget!’ ucapku dalam hati. Tapi aku pikir tidak ada salahnya juga membalas SMS misterius itu, mumpung gak ada kerjaan.

< Mlm jg! Tp ni cp ya? Pa qt dah slg knl? Or prnh ktm di swt t4? >

Aku menunggu sejenak, dan nomor misterius itu membalsnya.

< Aq tmn lmM.dah lp y? >

Aku kembali berpikir keras. Teman lama? Siapa ya, kira-kira?

< Tmn lm? Tmn lmQ bxk c! Ngku ja knp c! Km cp? >

Sekarang aku mulai kesal dan menunggu balasannya dengan agak kesal. Jujur, sebetulnya aku sangat tidak suka SMSan dengan orang yang sok misterius. Sesaat kemudian, balasan datang.

< Pk’x aq tmn sklsM wkt qt msh MI. >

Aku terperanjat. Entah mengapa aku merasa orang yang sok misterius itu adalah Rahman. Tapi tidak mungkin dia, buat apa coba dia SMS aku, kecuali kalau dia…. Ah! Aku menghilangkan prasangka itu. Aku terus meyakinkan diriku sendiri bahwa dia tidak mungkin menyukaiku, dan selamanya akan begitu. Jadi jangan Ge-eR dulu.

< Tmn MIq bxk. >

Aku membalas singkat. Lalu dia membalas lagi.

< Yg pst aq slh 1 dr mrk. Eh, ud dl y. Q lg da krjaan mda2k ne. Bye! >

Ih, ni orang aneh banget sih! Tapi aku jadi penasaran siapa sebenarnya orang ini. Makanya keesokan harinya waktu aku belajar kelompok di rumahnya Susi aku langsung menanyakan nomor misterius itu padanya.
“Itu sih, nomornya Rahman. Dia juga sering missedcall aku, tapi gak pernah SMS sekali pun. Jangan-jangan dia suka kamu lagi!” Susi tertawa nakal.
“Masa sih, ini Rahman?”
“Sumpah, ini nomornya Rahman. Cie, kayaknya ada yang lagi seneng nih! Aku tahu kamu suka kan sama dia? Hayo, ngaku aja,” Susi mulai meledekku.
“Gak kok! Siapa juga yang suka sama dia!”
Sungguh, dalam hatiku saat itu aku benar-benar bahagia. Dan sejak hari itu aku dan Rahman mulai sering SMSan. Dia pun mengakui identitasnya yang sebenarnya. Aku pun merasa memiliki harapan untuk bisa dekat dengannya walau hanya melalui Hp karena di sekolah, walau pun kita sering SMSan dia tetap seperti dulu, tidak pernah berbicara denganku. Selain itu, kita juga beda kelas jadi agak jarang ketemu.
Kami mulai sering bertegur sapa sejak kita sama-sama terpilih menjadi bagian dari OSIS. Walau hanya sebatas kata ‘Hai’, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Hingga akhirnya hal yang kuimpikan sejak dulu terjadi. Kami mulai saling menceritakan masalah pribadi dalam SMS kami. Itu artinya aku harus siap menerima kenyataan jika dia memberitahuku siapa orang yang dia sukai.

< Ni,km prnh sk ma s2org g’? >

Pertanyaan yang aneh, pikirku.

< Y iylah,sbg mnsia nrml q jlz prnh sk ma s2org lah! >

< Trz,cp cwo’ yg km skai? >

Kok pertanyaan tambah aneh sih, pikirku lagi.

< Pa untgx bwt km? >

< Y g’pa” cm mo th ja. Crt ya,tar Q jg mo crt cp cw’ yg Q skai >

Hm, kupikir inilah kesempatanku. Aku bisa berpura-pura menyukai orang lain untuk mengetahui siapa orang yang disukainya.

< Cey,j0 blg cp”y,Q sk Adi Rahman 2C yg sekls ma km. >

Deg, deg, deg, aku berdebar-debar menunggu jawabannya, sekaligus menunggu siapa kira-kira cewek beruntung itu. Aku mulai mengira-ngira, mulai berpikir-pikir, mulai mereka-reka, mulai mengingat-ingat siapa saja cewek sempurna di MU yang kira-kira disukainya. Setelah kupiki-pikir, Ifa termasuk juga di dalamnya. Duh, kok aku jadi tambah ngelantur kemana-mana? Nggak mungkinlah cewek itu Ifa. Dan akhirnya ringtone SMS itu membuyarkan pikiran burukku.

< Km jg jgn blg ma cp”y. Aq nksr Jazila ank 1A. >

Hah? Jadi cewek yang kupikir sempurna itu adalah Jazila??????
Besoknya, aku langsung menceritakan semuanya pada Ifa dan Fat.
“Hmm, aku jadi penasaran. Kayak apa sih, si Jazila itu? Kayak apa sih, Ni?” komentar Ifa sok serius.
“Itu lho, Fa anak kelas 1. Masa’ gak tahu sih? Aku emang sering lihat dia bicara sama Rahman, tapi aku gak nyangka ternyata Rahman beneran naksir dia.”
“Terus, maksud kamu, kamu nggak rela Rahman naksir cewek lain?” tanya Fat. “Gak boleh gitu donk, Uni. Itu sama aja kamu memaksakan perasaan sama Rahman. Terserah dia mau naksir sama Jazila atau siapa aja, itu hak dia.”
“Siapa bilang aku nggak rela, Fat? Aku selalu siap menerima kenyataan dia naksir sama cewek sempurna lainnya. Tapi yang ini Zila. Aku nggak bisa terima karena kayaknya dia itu bukan cewek baik-baik dan aku takut Zila hanya ingin mempermainkan perasaan Rahman. Aku bahkan lebih senang kalau Rahman naksir Ifa,” ucapku yang membuat Ifa terbatuk.
“Yang bener aja, Uni. Gak ah, aku gak mau jadi rival kamu. Kalaupun emang beneran terjadi aku pasti akan langsung nyerahin dia ke kamu. Beneran! Sumpah deh!”
Aku terdiam. Walau begitu pahit, aku akui perkataan Fat memang benar. Yah, aku akan memendam perasaan ini selamanya, juga rasa sakit ini. Tapi kenapa harus Jazila?
Sejak malam itu, aku mulai menjauh dari Rahman. Missedcallnya tak kuhiraukan lagi. SMSnya hanya sekali-kali kubalas itupun hanya 1 kali balasan saja, setelah itu tidak lagi.
Aku terus menghindarinya, sampai kami kelas 3 sekarang ini. Kurasa tahun ini akan menjadi tahun yang sulit bagiku.
^^^
Hari-hari menjelang ulangan umum semester pertama, agak sedikit bersahabat. Aku, Ifa dan Fat mulai sering jalan bertiga sebagai pengganti kebersamaan yang hilang sejak kami beda kelas. Ifa pun kelihatan bahagia dengan Bintang Hatinya, dan semakin hari hubungan mereka semakin romantis yang membuat anak-anak 2A lainnya jadi iri. Yah, aku pun termasuk anak yang iri itu. Hahaha…
Yang lebih bersahabat lagi, aku dan Rahman yang dulunya tak pernah bertegur sapa, kini mulai sedikit membaik walaupun hanya saling sindir. Tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku. Apalagi baru-baru ini kudengar bahwa dia sudah putus dengan Jazila. Aku sedikit lega, setidaknya dia sudah mulai jauh dari Jazila. Hari-hariku mulai ku habiskan dengan tersenyum sendirian, bertopang dagu, berkhayal, persis saat pertama aku naksir Rahman dulu. Syukurlah, anak-anak 2A banyak membantu. Mereka yang mengerti perasaanku membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Rahman, atau sekedar mengetahui kemana dia akan melanjutkan sekolah setelah lulus nanti. Ku harap dia juga melanjutkan ke MAN sepertiku. Jadi mungkin aku bisa lebih dekat dengannya walau hanya sebagai teman.
^^^
Ujian akhir nasional kami lalui dengan hasil yang cukup baik. Kami mulai mempersiapkan penampilan terakhir kami dalam acara perpisahan nanti yang akan diselenggarakan seminggu lagi. Kebetulan Rahman terpilih untuk tampil sebagai perwakilan kelas kami. Aku pun tidak sabar untuk melihat penampilannya nanti.
Dan malam perpisahan itu tiba juga. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penonton penuh sesak untuk menonton pentas seni Al-Miftah. Aku, Ifa dan Fat juga beberapa anak 2A lainnya yang akan tampil bersiap di belakang pentas. Kelasku dan kelas Ifa tampil bergiliran. Dan syukurlah, penampilan kami tidak mengecewakan.
Saat acara usai, aku benar-benar terkejut saat tiba-tiba Rahman menghampiriku.
“Ni, bisa bicara sebentar?”
Aku tak tahu harus menjawab apa, jadi aku menatap Ifa dan Fat yang tersenyum senang bergantian. Kelihatannya aku tahu apa yang ada dalam pikiran mereka.
“Bicara aja…”
“Cuma berdua!” tegasnya.
“Cuma berdua, Ni. Sana, kayaknya di depan Perpustakaan gak ada siapa-siapa kok. Kita jagain deh dari sini,” kata Ifa dan tersenyum nakal.
Dengan perasaan campur aduk aku mengikuti Rahman ke depan pintu Perpustakaan sekolah. Sampai di situ dia hanya tertunduk dan diam, seakan kebingungan mau bicara apa.
“Ni,” dia mulai bersuara. “Mmm, sebelumnya aku minta maaf ya, kalau selama ini aku nyuekin kamu.”
“Oh,” aku mulai kecewa. “Jadi kamu cuma mau minta maaf? Nggak apa-apa lagi.”
“Ng, nggak, bukan cuma itu. Aku juga mau bilang kalau… sebenarnya… Aku…”
Oh, God! Apa dia… Ah, gak mungkinlah dia kayak gitu. Dia suka Zila dan selamanya akan begitu.
“Bilang aja, kenapa?”
“Sebenarnya aku nggak yakin mau ngomong, tapi…”
“Apa? Teman-temanku udah nunggu aku dari tadi,” kataku mulai tak sabar.
“Sebenarnya aku… su… SUDAH IKHLASIN UANG YANG KEMARIN HILANG GARA-GARA DIAMBIL ILA ITU. Ingat nggak?”
Duar! Ternyata memang akunya yang kegeeran.
“Ya udah,” jawabku lesu. “Makasih. Aku balik dulu ya, Ifa sama Fat udah nungguin.”
Aku berbalik dengan wajah murung. Ternyata memang benar, itu semua hanyalah harapan kosong yang nggak akan pernah terjadi. Baru beberapa langkah…
“Nia, tunggu!” dia memanggilku lagi.
Apa lagi sih? Aku nggak mungkin pasang wajah murung kayak gini. Nanti dia tahu lagi kalau aku suka dia dan berharap dia menembakku tadi. Tapi aku pun berhenti.
“AKU SUKA KAMU!”
Apa yang kudengar tadi? Aku pun berbalik.
“Ya, aku suka kamu sejak kita masih MI dulu. Memang kedengarannya lucu dan kupikir itu hanya perasaan anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tapi sampai kita MTs, kita beda kelas, bahkan sampai kita sekelas lagi aku masih memiliki perasaan itu. Dan baru malam ini aku punya keberanian untuk mengatakannya padamu.”
Aku tersenyum bahagia, kurasakan mataku mulai berair. Entahlah, itu rasa haruku atau hanya karena aku mengantuk. Dia menghampiriku.
“Lalu, Jazila?” tanyaku.
“Dia hanya pelarianku. Malam itu ketika aku bertanya kamu naksir siapa, aku berharap orang itu adalah aku. Tapi ternyata, aku terlalu banyak berharap. Kenyataannya kau tidak menyukaiku. Aku yang saat itu kesal padamu bilang saja kalau aku naksir Jazila. Tapi sebenarnya orang itu adalah kamu, Ni.”
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dapat kurasakan saat itu Ifa dan Fat mulai histeris dan sangat bahagia karena akhirnya perasaanku tercapai.
“Yah, sebenarnya waktu itu aku bilang aku suka Adi Rahman juga karena aku hanya ingin tahu kamu suka siapa. Kamu juga harusnya ngerti, masa’ cewek yang nyatain perasaan duluan? Aku pun saat itu kecewa karena merasa kamu sama sekali nggak peduli dan nggak pernah menyadari bahwa selama ini aku juga suka kamu…” ceritaku malu-malu.
Dia tersenyum.
“Pertanyaan terakhir,” ucapnya lagi. “Mau nggak jadi pacarku?”
Tuhaaan…! Apa ini bukan mimpi? Aku harus jawab apa? Lama aku terdiam.
“Iya, Uni mau kok jadi cewek kamu. Tapi ada syaratnya. Iya kan, Uni?” suara Ifa mengejutkan kami.
Sesaat dia agak kecewa dan bertanya, “Apa syaratnya?”
“Hmm, kamu suka bantuin kakak kamu jualan martabak dan terang bulan di TB kan? Nah, tiap malam mingguan aku mau ngedate ke sana sama cowokku dan aku mau terang bulan gratisss!!!”
“Apaan sih, Fa?” Uni tampak malu.
“Nggak apa-apa lagi, kamu sanggup nggak?” tanyaku pada Rahman.
“Beres. Kalau cuma itu sih bisa diatur.”
Kami tertawa bersamaan. Aku benar-benar bahagia. Akhirnya perasaanku yang bertepuk sebelah tangan berakhir sudah. Dulu aku hanya mengagumi tanpa dicintai. Kini, bukan mengagumi lagi, tapi mencintai dan dicintai.
“Eh, jangan beritahu Nia ya, kalau lulus SMA nanti aku akan melamarnya…”



Batangbatang, 261208
BINTANG_APRYL

Sabtu, 19 Desember 2009

ADA YANG SALAH

Ini bukan hidup
tapi mati

Aku ingin kembali
tapi tak jadi

Aku tak bisa seperti ini
Semuanya musnah

Tapi tidak rasaku
PADANYA
Hanya Dia...

Sabtu, 05 Desember 2009

Humor K'Firman

Seorang Dokter pakar dan spesialis kesehatan mata dengan gelar Prof.Dr. SpM, DLL, DKK. Merasa dilecehkan oleh seorang mahasiswa jurusan ekonomi yang gak kelar-kelar kuliahnya dengan pernyataannya bahwa “merokok dapat merusak mata”.
Merasa pakar di bidangnya dokter mengajak si mahasiswa abadi tersebut untuk debat dan bedah wacana akan teori yg disampaikannya. Untuk tahap awal si dokter mengajak untuk debat tertutup dulu guna memberi pengertian kepada si mahasiswa bahwa teorinya salah dan tentu akan mendapat malu nantinya.
Setelah beberapa saat debat tertutup dilaksanakan, nampak sang dokter keluar dengan wajah lesu sedang si mahasiswa berjalan dengan gagahnya.
Kemudian Dokter tersebut memberikan pernyataan bahwa debat dan bedah wacana cukup sampai disini tidak akan dilanjutkan debat terbuka, dan ia juga dengan terpaksa mengakui kebenaran teori si mahasiswa.
Klarifikasinya sebagai berikut : “Saudara-saudara ternyata memang benar merokok dapat merusak mata, yaitu ‘mata pencaharian’ terutama bagi yang berpenghasilan pas-pasan apalagi yang belum punya penghasilan seperti mahasiswa tadi. Sekian terima kasih”.

Minggu, 29 November 2009

The Best Friend

“Huh !” Cindy mendengus kesal, “masa cuma karena deket ama Cica langsung dicuekin, sich!” dengusnya lagi.
Cindy kesal karena Leni, sahabatnya cuek padanya hanya karena ia dekat sama Cica, anak baru pindahan dari Sumenep. Mungkin Leni iri pada Cica. Leni, Leni.
“Pokoknya aku tak akan menyerah sampai di sini. Aku akan buat dia tahu bahwa aku sayang banget sama dia. Aku menyayanginya seperti adikkku sendiri,” ucapnya lagi.
Sejenak ia berpikir dan ia menemukan ide yang menurutnya bisa membuat Leni sadar.
# # #

Esoknya matahari bersinar dengan cerahnya. Itulah saat yang tepat untuk mulai menjalankan ide Cindy. Dia mengirim sepucuk surat pada Cica.

Dear Cica,
Ca, kita main sandiwara, yuk! Maksudku kita pura-pura bertengkar di hadapan Leni. Leni iri sama kamu karena aku lebih dekat sama kamu dibanding dengannya.

Cindy

Cica menoleh ke arah Cindy. Dia mengangguk perlahan.
Bel berdentang dua kali pertanda istirahat tiba. Seluruh siswa dan siswi MI. Miftahul Ulum berhambur keluar kelas. Ada yang langsung ke kantin beli makanan, ada yang ke perpustakaan membaca buku, ada yang hanya di dalam kelas. Salah satu yang di dalam kelas adalah Cindy dan Cica. Mereka sedang membicarakan tentang sandiwara mereka.
“Kapan kita mulai sandiwara kita?” tanya Cica.
“Sekarang!” jawab Cindy singkat.
“Target pertama kita siapa?” tanya Cica lagi.
“Salah seorang teman Leni. Lisa,” jawab Cindy sambil berlalu dari hadapan Cica.
Cindy menghampiri Lisa yang sedang membaca buku di perpustakaan.
“Hai, Lis, serius aja nih. Baca apaan sich?” sapa Cindy.
“Lho, tumben kamu ke sini? Biasanya kan sama Cica,” Lisa berkata heran.
“Itulah, Lis, aku bertengkar sama Cica. Dia itu ternyata nggak punya perasaan. Suka nyakitin hati orang,” Cindy menjawab keheranan Lisa.
“Oh, begitu, ya udah salah kamu sendiri pilih teman yang kayak dia. Jadinya kan begini,” ucap Lisa seperti senang atas pertengkaran Cindy dan Cica.
Dalam hati Cindy tertawa.
“Ternyata Lisa gampang banget ditipu.” ucap Cindy dalam hati.
# # #

“Cin, kenapa kamu mempunyai ide seperti itu?” tanya Cica sewaktu menelepon Cindy.
“Karena aku ingin mendapatkan dua-duanya,” jawab Cindy.
“Maksudnya?”
“Ya, aku ingin persahabatanku dengan Leni tidak berakhir dan aku tidak ingin persahabatan kita hancur juga. Artinya aku ingin punya dua sahabat yaitu kamu dan Leni.” Cindy menerangkan panjang lebar.
“Kira-kira sandiwara kita bakal ketahuan nggak?” Cica bertanya seperti tak yakin bahwa ide Cindy akan berhasil.
“Pokoknya kamu percaya aja sama aku. Semuanya akan beres. Kamu ikuti aja rencanaku,” jawab Cindy seraya meletakkan gagang telepon, dan mengakhiri pembicaraannya dengan Cica.
# # #

Pagi itu cuaca amat cerah. Cindy melangkah gontai menuju sekolah. Ia ingin melanjutkan sandiwaranya sampai Leni mendengar bahwa Cindy dan Cica bertengkar.
“Pagi, Cin,” sapa Lisa.
“Pagi juga, Lis,” Cindy tersenyum kecut.
“Hai Cin, aku dengar kamu ama Cica bertengkar. Apa itu benar?” tanya Leni tiba-tiba.
“Mmm... iya benar. Emangnya kenapa?”
“Nggak sih. Cuma aku ikut prihatin juga. Kenapa Cindy ama Cica yang begitu dekat kok bisa tiba-tiba bertengkar,” Leni tersenyum kecut, “Cin, ngantin yuk!”
“Pagi-pagi udah mau ngantin,” Lisa menambahi
“Aku kan udah lapar,” Leni mengelus perutnya.
“Ih, dasar gendut.”
“Udah kalo nggak mau ikut jangan gitu dong. Lagian kalau ngantin sekarang asyik gitu lohh…” Leni berlalu.
Cindy tersenyum senang, karena rencananya berhasil. Akhirnya.
“Siang ini kamu nggak mau ke mana-mana, Cin?” tanya Leni sepulang sekolah.
“Kayaknya nggak tuh.”
“Kamu ke rumahku, yach! Kamu kan udah lama nggak ke rumahku. Jadi nanti siang kamu main dulu ke rumhku. Mau kan?”
“Iya deh.”
# # #
Siang itu Cindy pergi main ke rumah Leni. Asyik sekali. Mereka sangat akrab seperti dulu. Gurauannya sangat ramai. Ditambah dengan tawa menggelegar dari Cindy.
“Eh, Cin. Akhirnya persahabatan kita tidak berakhir sampai di sini.” Ucap Leni.
“Nggak mungkin, lagi.”
“Sejak Cica muncul, aku udah benci ama dia. Untung aja kamu udah tahu sifat dia sebenarnya.” Tambah Leni.
“Huh, jangan bicarain dia terus dong.” Cindy cemberut.
“Iya, iya. Lagian aku malas ngomongin orang kaya dia. Kampungan tahu nggak.”
“Huh, Len, kamu bilang Cica kampungan? Kamu memang nggak kampungan tapi jangan menghina orang yang dibenci seperti itu dong. Lihat aja kamu pasti akan menyesal dengan ucapanmu itu.” Ucap Cindy dalam hati.
# # #

Seminggu telah berlalu. Seminggu pula Leni kena tipu Cindy. Ternyata Leni akrab sekali dengan Cindy jika Cindy dan Cica jauh.
Siang itu biasanya Leni pulang bersama Cindy. Tapi sekarang tidak. Cindy sudah pulang duluan. Leni mendapat tugas dari Bu Guru untuk membersihkan kelas. Tapi Leni tidak sendirian. Dia ditemani oleh Lisa, Fia, dan Nila. Tapi sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Leni menemukan sepucuk surat yang berisi tentang rekayasa antara Cindy dan Cica. Leni jadi tahu bahwa selama ini dia ditipu oleh temannya sendiri. Dia tak menyangka kalau Cindy tega bebuat seperti itu.
“Awas kau, Cindy,” ucapnya dalam hati.
# # #

Pagi itu Cindy sedang bercakap-cakap dengan Fia. Tiba-tiba Leni muncul dengan wajah merah.
“Cin, kamu kenapa sich bikin rekayasa kayak gituan?” tanya Leni.
“Rekayasa? Rekayasa apa?” tanya Cindy pura-pura tak mengerti.
“Kamu sama Cica pura-pura bertengkar kan?” Leni kembali membentak.
“Oh, itu. Memangnya kenapa? Apa kamu lebih senang kalau akau sama Cica bertengkar? Sebenarnya yang mulai duluan tuh kamu. Semenjak aku dekat sama Cica kamu udah cuek sama aku. Tiap aku menyapa kamu membalasnya dengan muka masam. Kenapa Len? Kenapa?” Cindy berkata sambil mengguncang tubuh Leni.
“Itu karena aku iri sama Cica. Kamu tuh lebih dekat sama dia. Aku ini kan sahabatmu sejak kecil. Sedangkan Cica, siapa itu Cica. Dia kan Cuma anak baru,” Leni menyebut nama Cica.
“Kamu itu salah. Sebenarnya kalau kamu nggak cuek sama aku, aku nggak akan susah-susah bikin rekayasa ini. Sebenarnya kamu itu benci nggak sih sama aku. Kalau emang gitu ya udah kita enggak usah temenan lagi. Okey?” ujar Cindy yang membuat Leni tertunduk. “Gimana, Len. Kalau kamu benci sama Cica berarti kamu juga benci sama aku. Apa kita nggak usah temenan lagi?”
Leni sadar akan perbuatannya. Kenapa dia cuek sama Cindy?
“Jangan, Cin. Aku minta maaf. Kamu mau kan maafin aku. Aku janji nggak akan pernah ngulangi itu lagi,” pinta Leni. “Kalau kamu tetap nggak mau maafin aku ya udah nggak apa kok. Aku terima. Aku emang salah dan nggak tahu diri. Ngapain juga iri sama Cica. Tadinya aku kira kamu nggak punya perasaan dan tak memandangku sebagai sahabat sejati. Tapi ternyata kamu nggak seperti yang aku bayangakan. Kamu adalah sahabat terbaikku, Cin.”
“Kalau minta maaf itu emang gampang, tapi kamu nggak tahu betapa sakitnya hatiku saat kamu cuek padaku. Kamu tahu nggak sih perasaanku waktu itu?” Cindy berkata dengan kasar.
“Tapi, Cin, waktu itu kan aku masih ngira kamu nggak punya perasaan. Aku tahu aku memang salah. Tapi kumohon, Cin maafkan aku. Kalau kamu nggak mau bersahabat lagi denganku nggak apa-apa, tapi tolong, Cin maafkan aku.” Leni semakin memelas.
Cindy akhirnya merasa kasihan juga mendengar permohonan Leni. Dan akhirnya dia mau juga memaafkan Leni.
“Iya deh. Aku mau maafin kamu. Tapi kamu janji nggak ngulangin perbuatan itu lagi.”
Leni mengulurkan tangannya pada Cindy, dan Cindy menerimanya dengan baik. Mereka berpelukan sebagaimana sahabat sejati.
“Nah, begitu kan lebih baik.” ternyata Cica sudah berada di belakang mereka dari tadi.
“Maafkan aku ya, Ca. Aku udah menuduhmu yang bukan-bukan. Sekarang aku baru tahu, ternyata Cindy adalah teman terbaikku,” ucap Leni.
Mereka bertiga akhirnya bersahabat. Keinginan Cindy untuk mendapatkan Leni dan Cica akhirnya tercapai. Persahabtan ini memang indah.
And all are the best friend.






By : Ief
(Cerpen Ne Q buat pas kelas 5 SD)

Sabtu, 14 November 2009

SAAT

Saat aku terduduk
dengan lamunku
khayalku
lautku
pasirku
pantaiku
karangku
bintangku
bulanku
senjaku
bumiku
jagad rayaku

Bukan,
Itu bukan jagadku
Itulah jagad Tuhan
Begitu juga aku
Milik Tuhan

@Ief



141109

Cihuyyyyyy...........!!!!
Akhirnya selesai juga......
 
Copyright (c) 2010 The Little Black Star and Powered by Blogger.