Jumat, 25 Desember 2009

WHEN YOU SAY HAPPY BIRTHDAY

“Surprise!!!” seru teman-temanku.
Aku sudah mandi kertas saat mereka memberiku selamat secara bergantian, dengan menjabat tanganku. Dan tak lupa mereka memberiku hadiah ultah. Kemudian Mba’ Say maju ke hadapanku dan memberikan kado yang terbungkus kertas kado berwarna pink kesukaanku dan bermotif peri-peri kecil yang ternyata isinya adalah buku “Harry Potter” yang selama ini aku inginkan.
“Hihihi,” aku terkikik sendidrian. Sayang semuanya hanya angan-angan belaka, yang akan sangat indah jika benar-benar terjadi.
Ulang tahunku sudah bulan depan. Kira-kira Mba’ Say dan Ratna mau ngasih apa ya? Diary, poester Alvin AFI, figora, atau mungkin sebuah novel? Aku udah nggak sabar lagi menanti tanggal 14 April, padahal sekarang masih tanggal 18 Maret. Masih 26 hari lagi.
Tiba-tiba hpku berbunyi. SMS dari Uni.
Pril, jgn lp krjain Prnya y. Bsk aq mo dtg pg2 ng kmu. Biasa, nyontek dulu ya. Mlm ini aq mo prg k pmrn d lpgn spk bola. G’ ush d blz.
Iiih, Uni. Udah kebiasaan deh kalo ada PR pasti nyontek. Mungkin Cuma sekali dia nggak nyontek, yaitu waktu ada PR B. Indonesia. Itupun soalnya guaaammmpaaangng… buaaangettt! Kalau pada pelajaran lainnya terutama matematika nyonteknya kalau nggak sama aku, ya sama Ratna.
Aku, Uni dan Ratna teman sekelas sekaligus sebangku di kelas enam MI. Miftahul Ulum. Di antara kami bertiga yang “smart” adalah aku dan Ratna, sedangkan Uni nggak begitu. Otaknya pas-pasan. Jadi tiap kali ada PR yang jadi sasaran contekan pasti aku dan Ratna. Tapi kami tetap bersahabat baik. Kami tidak memandang pintar atau bodohnya. Uni tidak pernah memuji kepintaranku dalam segala pelajaran, demikian juga Ratna. Sebaliknya aku dan Ratna juga tidak pernah membicarakan otak Uni yang pas-pasan. Karena itu aku senang berteman dengan Uni karena dia satu-satunya orang yang tidak pernah peduli dengan nilai bagusku.
Aku kembali berbaring di tempat tidur, memejamkan mata dan berharap bermimpi tentang perayaan ulang tahunku.
***
“Pril, gimana PRnya? Selesai?” tanya Uni saat aku sudah sampai di gerbang sekolah.
“Ah, Uni. Aku kan baru aja nyampek, nanti kalu uadah di kelas aku kasih deh,” jawabku.
“Masalahnya sekarang, PRnya harus dikumpulkan pada pelajaran pertama. Aku kan harus buru-buru nulis. Entar deh kalu kamu ulang thun aku kasih kamu fotonya Alvin deh,” rayu Uni, dan biasanya kalu aku dirayu dengan iming-iming dapat fotonya Alvin idolaku, aku tak bisa nolak permintaannya.
“Kamu emang tahu aja yang aku mau,” kataku sambil membuka tasku. “Nih.”
“Hihihi, thank you very much ya. Mmmuah,” Uni mencium buku catatanku.
Aku tersenyum dan mengikuti Uni ke dalam kelas. Di sana sudah ada Ratna yang mencatat pelajaran. Emang sih otaknya encer, tapi kalau soal catat-mencatat sering banget ketinggalan. Alasannya sih capeklah, tangan lagi pegellah, makanya setiap pagi jangan heran kalau lihat dia duduk manis, nyiapin buku catatan dan buku panduan, nulis deh!
“Rat, gimana PRnya? Susah?” tanyaku.
“Nggak kok, aku udah ngerjain,” jawab Ratna tanpa menoleh sesentipun ke arahku, “tapi aku belum nyatet nih, luupa. Bantuin dong.”
“Sorry lah yaw, tanganku juga pegel tauuuk,” cibirku. Aku duduk di sebelah Ratna dan memasukkan tasku ke kolong meja. Kulihat Ratna menutup bolpoinnya, sementara catatannya belum selesai.
“Aini, tolong beliin aku pisang goreng di warungnya Bu Mar ya, GPL,” serunya pada anak yang berdiri di depan pintu.
‘Ya ampun Ratna. Catatannya aja belum selesai, masih sempat-sempatnya jajan. Ini nih yang namanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan,’ gemingku dalam hati
“Aku juga ya,” tambah Uni.
‘Yee, Uni ikutan juga. PRnya juga belum selesai disalin.’
“Mana uangnya?” Aini menadahkan tangan kaya’ pengemis. Ratna dan Uni sama-sama meletakkan sekeping uang lima ratusan di telapak tangan Aini. “Kamu juga mau beli, Pril? Pisangnya masih hangat lho, besar-besar lagi,” Aini menoleh padaku.
“Nggak ah, aku udah kenyang tadi sarapan roti pisang juga di rumah,” jawabku berbohong.
“Bener nih nggak mau beli? Kayaknya aku denger dari tadi perut kamu bunyi deh. Kalau emang pengen, beli aja. Bohong itu kan dosa. Apalagi pisang gorengnya kan enak, hangat lagi. Yang pasti rasanya yahut!” goda Ratna.
“Uuuh, Ratnaaa,” aku mencubit lengan Ratna keras-keras.
“Auuuwww…”
***
“…Jadi selain Allah tidak boleh disebut Khaliq,” terang Pak Majid saat pelajaran pertama, Aqidah Akhlaq.
Guru yang satu ini gampang banget dirayu. Jadi sering dapat keringanan deh Kadang mau dikasih PR, tapi nggak jadi. Bahkan ulangan pun bisa ditunda. Wah, wah, wah, kira-kira dosanya sebesar apa ya?
“Nah, sekarang kalian kerjakan latihan pada halaman 25-26 ya.”
“Wah, Pak. Udah jam 9 tuh,” suara leni menggelegar.
“Iya tuh, Pak,” Uni ikut-ikutan. ‘Sejak kapan Uni ikut-ikutan ngerayu Pak Majid?’ pikirku. Kemudian Pak Majid melihat jam dinding.
“Oh iya, ya. Baiklah kalau begitu jadikan PR saja,” kata Pak Majid.
“Yah, sekarang kami kan udah kelas enam, dan bentar lagi ujian. Jadi kami punya banyak PR dari guru-guru yang lain. Nggak usah ya, Pak. Kan capek,” kata Leni manja.
“Ya sudah kalu begitu. Soalnya dikerjakan minggu depan saja. Assalamu’alaikum,” ucap Pak Majid kemudian.
“Wa’alaikum salam,’ jawab anak-anak serentak. Kemudian anak-anak keluar kelas dengan gaduh.
“Ni, sejak kapan kamu berani ngerayu Pak Majid kaya tadi?” tanyaku pada Uni.
“Nggak tahu. Tiba-tiba aja aku ngomong begitu,” jawab Uni sekenanya.
“Ratna, ikut aku yuk. Bentar aja,” Lila yang baru masuk kelas menggandeng tangan Ratna. “Pril, aku pinjam Ratna dulu ya.”
“Kenapa nggak disewa aja sekalian, satu jam seribu,” candaku.
“Tapi nggak apa-apa kan?”
“Udah bawa aja. Aku di sini sama Uni, iya kan, Ni?” tanyaku sambil menoleh pada Uni.
“Iya, iya,” jawab Uni.
Lila dan Ratna keluar kelas sambil bergandengan. Perasaanku jadi nggak eanak. Entah mengapa kurasa ini berhubungan denganku. Aku takut Ratna dan Lila membicarakanku.
***
Aku menghempaskan diri di tempat tidur. Perlahan kututup mataku.
‘Kira-kira Lila dan Ratna ngomongin apa ya?Apa mereka ngomongin kejelekanku?’ pikirku.
Emang sih, aku nggak begitu dekat dengan Lila, karena aku nggak suka sama sifatnya. Dia itu selalu jadi penghalang hubunganku dengan Uni dan Ratna. Tiap kali kami jalan bertiga, dia langsung ikut dan berada di antara kami. Jadi kalau kami gandengan tangannya jadi terlepas. Gimana nggak kesel coba? Trus, kalo kita lagi asyik ngobrol, Lila pasti manggil salah satu dari kami. Mau minta tolong lah, janji mau ke les barenga lah, jadinya percakapan kami nggak komplit. Kenapa sih ada orang kayak dia?
Selain itu Lila orangnya nggak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Dia sering ngebicarain tentang kejelekan orang lain. Kadang masalahnya sepele di lebih-lebihin. Emangnya dia nggak nyadar apa, kalau dirinya tuh lebih hina dari orang yang dia bicarain? Udah sering bicarain orang yang tidak tidak, dilebih-lebihin pula. Kebayang nggak sih, gimana perasaan orangnya kalu tahu? Dasar tukang fitnah!
Ups, kok jadi kelewatan gini? Terlau sadis kali ya? Tapi emang bener sih, Lila itu tukang fitnah. Aku takut dia itu bicara yang nggak nggak tentang aku ke Ratna. Mudah-mudahan aja nggak. Soalnya aku nggak mau Ratna jadi cuek sama aku. Emang sih masih ada Uni, tapi kalau Uninya ikut-ikutan gimana coba? Uni itu kan percayaan banget orangnya. Duh, kenapa aku jadi ketakutan kayak gini ya?
Karena penasaran campur takut, aku mengambil Hpku dan mengirim pesan sama Uni. Mungkin Uni tahu apa yang dibicarain Ratna dan Lila.
Ni, kmu th ngg’ Ratna dan Lila ngmngn pa td d sklh? Kr2 da hbngnx ma aq ngg’ ya, aq jd kpkrn nih! Blz.
Selesai SMS-an aku kembali tiduran sambil menunggu jawaban dari Uni. Lama aku menunggu, tapi Hpku belum juga bunyi. Aku jadi semakin harap-harap cemas. Sambil menunggu jawaban dari Uni aku membaca novel hadiah dari Mba’ Say. Biar nggak terlalu cemas.
Akhirnya Hpku bunyi. Segera kulihat layarnya dan ternyata memang balasan dari Uni.
Kpkrn gmn mksd kmu? Aq ykn mrk ngg’ ngmngn pa2 aplg ttg kmu. Plg2 Lila cm mnt d tmn k rmhx ambl bk yg ktggln. Coz, aq dgr dr Yuli ktx bk Fiqih Lila ktggln. So, don’t worry gitu loh!!!
Uuuh, Uni. Orang lagi serius nanggepinnya berguarau. Tapi bener juga sih. Mungkin aja Lila Cuma minta ditemenin Ratna ke rumahnya doang. Aku kok jadi su’udzon gini sih, sama Ratna lagi. Duh, Ratna maaf ya.
***
Bel baru saja berbunyi, sementara aku baru sampai di pintu gerbang sekolah dengan terengah-engah dan berusaha mengatur nafas. Untung belum terlambat, tapi tinggal dikit lagi. Kelamaan nunggu Apink sih! Soalnya kalau terlambat langsung dicatat di buku besar dan kena hukuman. Kalo nggak berdiri di halaman sekolah, ya mungut sampah yang menggunung di halaman.
Aku berlari menuju kelasku yang berad di ujung sekolah, dekat kantin.
“Hampir telat nih, tumben,” sapa Yuliu yang duduk di depanku.
“ Iya nih. Kelamaan nunggu Apink,” aku menjwab dengan terengah-engah. “Uni dan Ratna man, kok nggak kelihatan?” tanyaku ketika melihat tempat duduk mereka kosong. “Lila juga.”
“Ke kamar mandi sebentar. Kalau Lila belum datang.”
“Ternyata masih ada yang lebih telat dari aku,” kataku.
“Jelas aja. Jam setengah tujuh baru mandi, apalagi orangnya memang nggak disiplin,” tambah Yuli.
“Woi April,” sebuah suara mengagetkanku dari belakang dan aku kenal banget suara itu. “Nih, foto Alvin.”
“Makasih ya, Len,” ucapku girang sambil berkali-kali mencium foto itu.
“Kamu kok suka banget sama Alvin, padahal Alvin nggak begitu tampan kalau menurutku. Apalagi kalau dibanding sama Egi, seujung rambut pun Alvin nggak dapet ketampanannya. Mendingan Egi aja tuh lebih ca’em,” cibir Leni.
“Biarin suka-sukaku dong mau suka sama siapa aja,” timpalku.
Yuli dan Leni tertawa.
***
Kurasa baru kali ini aku marah pada Uni dan Ratna. Dan kemarahanku ini gara Lila.
Waktu itu aku lagi asyik-asyiknya ngobrilin tentang film “Mr. Deeds” yang baru kemarin aku tonton sama Uni dan Ratna. Tapi tiba-tiba Lila bisik-bisik sesatu sama Ratna sambil melirikku sehingga aku tahu kalau itu tentang aku. Setelah kutanyakan pada mereka ada apa, mereka bohong padaku. Malahan Uni ikut-ikutan dan bohong.
Mereka bilang, mereka amu ngadain pesta kejutan di ultahnya Nabila. Padahal ultah Nabila udah lewat. Dan sampai jam pelajaran terakhir aku tidak bicara dengan Uni dan Ratna. Bahkan sampai bel pulang berbunyi.
Saat aku sudah bergegas pulang, kudengar Lila mengatakan sesuatu pada Nabila dan Ana.
“Nabila, Ana jangan pulang dulu. Yuli kamu juga jangan pulang dulu. Ratna sama Uni mana?” tanya Lila.
‘Ha? Uni dan Ratna juga? Kalau mereka diajak, kenapa aku nggak? Pasti ada sesuatu deh, mungkin mereka mau membicarakan aku. Tapi mana mungkin Ratna amu ikut? Itu kan ghibah? Lagian Ratna terkenal alim dan selalu menjauhi perbuatan yang seperti itu,’ ucapku dalam hati.
Tapi meski penasaran aku tetap pulang karena menganggap Ratna tak akan mau melakukan perbuatan itu. Lagi pula mungkin sekarang Uni dan Ratna sudah pulang.
“Pril, pulang bareng yuk!” ajak Nuril tiba-tiba.
Baru sja aku mau mengatakan ‘ya’, aku melihat Uni dan Ratna kembali ke kelas, jadi aku urungkan niatku.
“Tunggu, ikut aku yuk,” ajakku.
“Kemana?” tanyanya.
“Udah ikut aja.”
Langsung kutarik lengan Nuril dan berlari ke halaman belakang sekolah. Kebetulan kelasku agak ke belakang, jadi dekat dengan halaman belakang.
“Ada apa, Pril?” desak Nuril.
“Di kelas, teman-teman-teman lagi ngobrolin sesuatu dan kayaknya tentang aku deh. Aku pengen denger,” jawabku dengan mengecilkan suaraku karena sudah berada pas di belakang kelas.
Aku mencoba mendengarkan dengan baik-baik, tapi sangat sulit. Sepertinya mereka mengetahui keberadaanku dan diam.
“Gimana, Pril, mereka bicara tentang apa?” celetuk Nuril. Aku berbalik dan berhent mencuri dengar.
“Percuma,” ucapku dengan nada putus asa, “mereka tahu aku ada di sini. Sebaiknya kita pulang aja, sebelum mereka keluar.”
Tanpa bicara apa-apa lagi, Nuril mengikutiku pulang. Kami pulang tanpa suara.
Tetapi di depan gerbang sekolah, ada sebuah suara yang memanggilku dengan terburu-buru.
“Pril, April,” panggil Rya sambil berlari tergesa-gesa. “Aku tahu apa yang mereka bicarakan.”
“Maksud kamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Sudahlah, Pril. Aku tahu kamu dari tadi ada di belakang kelas lagi mencuri dengar yang mereka bicarakan. Aku lihat kamu dari jendela. Mereka emang bicara tentang kamu.”
“Tu kan, Nur,” kataku sambil menyenggol lengan Nuril.
“Aku sih nggak engar banyak, tapi kayaknya mereka panik banget.”
“Maksud kamu panik gimana?” tanyaku penasaran.
“Pokoknya mereka itu bicara tentang kejelakanmu, sampe-sampe Nabila nyibirin kamu.”
Aku terkejut mendengar kalimat Rya barusan. Nabila nyibirin aku? Bagaimana bisa? Emang sih aku bukan teman dekat dia, tapi dia juga sering barengan sama aku. Belajar bersama, ke kantin bersama, berangkat sekolah bersama, dan aku nggak pernah curhat apa-apa sama dia. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia nyibirin aku? Dia kan nggak tahu apa tentang aku.
“Uadah ah, aku nggak mau dengar sesuatu tentang mereka lagi. Terserah mereka mau ngapain, mau ngomongin aku, mau nyibirin aku, terserah. Entar kan dosaku berkurang.”
Aku pulang dengan hati panas dan diikuti oleh Nuril.
“Kamu percaya sama omongan Rya?” tanya Nuril tiba-tiba.
“Nggak tahu juga sih, tapi kayaknya Rya sesrius,” jawabku, “ aku udah nyampek nih,” kataku ketika samapai di depan rumah.
“Sampai ketemu besok.”
***
Malam ini di mesjid aku yang biasanya ngaji bersama Uni, malam ini tidak lagi. Aku sealu menghindar jika Uni duduk di dekatku. Karena tidak punya teman untuk berbagi cerita, mendekati Nuril yang memang selalu sendiri.
“Yang tadi siang itu gimana? Udah tahu kejadian sebenarnya?” tanya Nuril.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kenapa nggak tanya orangnya sendiri?”
“Siapa lagi yang mau ditanyain?”
“Itu, Uni. Biasanya kamu sama dia, kan?” Nuril menoleh kepada Uni dan tersenyum padanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Uni membalasnya dengan tersenyum juga.
“Ada apa?” tanyaku yang tak mengerti melihat kelakuan Nuril dengan Uni.
“Nggak, nggak ada apa-apa,” kata Nuril.
Jawaban Nuril tadi masih belum membuatku puas. Seakan-akan Nuril menyembunyikan sesuatu dariku. Sebenarnya aku mau mengutarakan pikiranku, tapi mau gimana lagi, hanya dia yang bisa menemaniku saat ini. Ah, andai Uni tidak ikut kembali ke kelas tadi dan aku tidak akan curiga. Jika itu tidak terjadi pasti aku sekarang sudah menceritakan sesuatu pada Uni, baik itu film, novel, komik, atau cerita lainnya.
“Kamu benar-benar tidak mau bicara dengan Uni atau pun Ratna?” tanya Nuril lagi.
“Tentu saja.”
“Sepertinya kamu harus urungkan niatmu untuk saat ini,” kata Nuril.
“Apa maksudmu?”
“Lihat, Uni menuju kesini dan aku harus pergi.”
Aku menoleh, dan ternyata memang benar, Uni menuju ke sini.
“April,” suara Uni membuka pembicaraan, “kamu marah ya dengan kejadian tadi siang?” tanya Uni.
“Kok kamu biasa tahu?” aku balik bertanya.
“Rya yang bilang.”
Aku tidak menjawab, tapi aku tidak menatapnya sama sekali.
“Pril, kalo kamu emang marah, aku minta maaf. Tapi jujur, waktu itu kita ngak ngomongin kamu. Lila cuma ngajak aku, Ratna, Nabila, Ana, dan Yuli untuk belajar kelompok di hari jum’at. Itu aja kok,” kata Uni.
“Kok aku nggak diajak?” tanyaku.
“Ya itu masalahnya. Tadinya Lila emang nggak mau ngajak kamu. Kamu tahu kan dia itu orangnya kayak apa? Tapi aku dan Ratna nggak mau belsjar kelompok sama dia, karena kamu nggak diajak. Jadi belajar kelompoknya nggak jadi,” terang Uni.
“Lho, kata Rya Nabila nyibirin aku?”
“Ya ampun, Pril. Justru Nabila nyibirin Lila, bukan kamu,” Uni tertawa.
“Oh, jadi kalian benar-benar nggak bicara tentang aku?” tanyaku memastikan.
“Ya iyalah.”
“Tapi kenapa Rya bilang begitu?”
“Mungkin dia salah mengerti, Pril.”
Aku lega mendengar penjelasan dari Uni. Aku lega karena ternyata dugaanku salah. Uni dan Ratna memang teman terbaikku.
***
“Rat, katanya kemarin kamu dan Uni diajak Lila belajar kelompok?” tanyaku keesokan harinya.
“Iya. Tapi kami nggak mau karena kamu nggak diajak,” jawab Ratna mantap.
“Bagus dong. Kemarin aku sempat su’udzon sama kamu dan Uni loh. Cuma gara-gara Lila nggak ngajak aku. Tapi tadi malam Uni udah bilang yang sebenarnya sama aku.,” kataku.
“Pril, Pr matematika yang kemarin susuah banget. Kiata kerjain bareng yuk,” ajak Ratna.
“Oke, tapi Uni juga diajak yah. Biar dia nggak nyontek mulu. Di mana?” tanyaku.
“Di rumah kamu aja deh,” jawab Ratna.
“Kapan?”
“Mmm…, kapan ya? Eh iya, hari jum’at nanti kan kita libur, jadi hari itu aja. Kan lebih leluasa.”
Aku mengangguk. Kebetulan hari jum’at pas hari ultahku.
“Oh ya, Pril. Kamu jemput aku di sekolah ya,” pinta Ratna.
“Oke, jam delapan aku jemput kamu di sekolah,” aku mengacungkan jempolku.
***
Hari ini hari jum’at. Aku sedang bersiap-siap menjemput Ratna ke sekolah. Sebenarnya sih aku malas jemput dia, karena hari ini kan libur jadi ingin malas-malasan gitu. Tapi mau gimana lagi aku kan udah janji sama dia, lagi pula dia itu sahabat dekatku.
“Mba’ April mau kemana?” tanya Apink yang tiba-tiba ada di belakangku.
“Cuma ke sekolah kok,” aku membetulkan letak jilbabku.
“Apink ikut, ya?”
“Jangan, Mba’ April cuma sebentar kok. Sebentar lagi juga datang, Cuma mau jemput teman Mba’ April doang,” kataku.
Aku langsung berangkat ke sekolah. Ternyata Uni juga menungguku di sekolah.
“Lho kamu juga nunggu aku?” tanyaku.
“Iya, aku lihat Ratna ke sini jadi aku juga ke sini,” jawabnya.
“Terus, Ratnanya mana?”
“Ada di dalam. Yuk!” ajak Uni.
Sejenak aku curiga, kenapa Uni tidak langsung panggil Ratna. Tapi aku buang jauh-jauh rasa curiga itu, karena di dalam aku mendemngar suara Ratna. Dan tiba-tiba…
“Kejutan!!!” seru teman-temanku.
Aku kaget, karena banyak teman-temanku di sini. Padahal aku cuma ngundang Ratna. Kenapa jadi banyak gini?
“Ada apa?” tanyaku tak mengerti.
“Sekarang kan hari ultah kamu,” Ratna yang menjawab.
“Ya ampun, iya juga. Padahal aku udah menunggu-nunggu hari ini, tapi kok aku yang lupa ya?”
“Sebenarnya sudah lama kami merencanakan pesta kejutan ini. Dan waktu itu, waktu kami mengadakan pertemuan rahasia saat jam pulang sekolah, sebenarnya kami lagi membicarkan tentang pesta kejutan ini,” sahut Nabila.
“Terima kasih semuanya. Aku benar-benar bahagia hari ini,” ucapku.
“Nah, gitu dong. Makanya jangan keburu curiga dulu,” Uni menepuk pundakku, keras sekali.
“Iya, gimana nggak curiga. Lila ngajak kalian di depanku sih.”
“Udah ngomongnya. Sekarang lihat dong hadiah dari kita-kita. Sorry ya nggak ada kue tartnya, habis mahal banget sih,” suara Ana menyela.
“Nggak apa-apa, kok. Kalian bikin pesta kejutan ini aja aku udah seneng banget,” jawabku, mengambil salah satu kado yang terbungkus rapi. Tapi baru saja aku menyentuhnya, sebuah balon meledak, dan potongan kertas kecil langsung mengguyurku. “Aduh, apaan nih?”
“Hahaha, kami bikin itu semalaman,” tawa Uni dan Ratna meledak bersamaan.
“Kami juga bikin,” Nabila dan Ana menaburkan potongan kertas mereka juga ke arahku.
“Aduh,” aku berusaha membersihkan potongan kertas itu.
***
Wah, pesta tadi sebenarnya sangat lama, dan aku menikmatinya. Senang rasanya punya teman seperti mereka. Dan aku berjanji pada mereka untuk nggak akan curiga lagi.
Hadiah mereka boleh juga. Hadiah dari Ratna kalung putih berliontin hurf “A” dan sebuah jepit rambut. Dari Uni udah ketahuan duluan, foto Alvin AFI. Dari Nabila dan Ana paling aneh, dari luar kelihatan gedeee banget, tapi isinya Cuma sepulah biji permen Kino rasa cokelat. Lila juga memberiku hadiah, yaitu sekotak hiasana rambut dan beberapa gelang.
Tak lama setelah itu, Hpku berbunyi. SMS dari Mba’ Say.
Happy B’day adikku sayang, sorry Mba’ Cuma bisa ngirim SMS. Mau gimana lagi kan jarak kita jauh banget. Tapi Mba’ janji nanti kalo Mba’ dah pulang, Mba’ bawa hadiah Mba’. Dijamin bakalan bikin kamu nyengir terus deh!
Aku tersenyum membaca SMS dari Mba’ Say yang sama sekali nggak di singkat. Jadi nggak sabar nunggu hari kedatangan Mba’ Say.
Tapi aku juga nggak terlalu buru-buru, karena sebentar lagi aku akan lulus dan itu berarti aku harus berpisah dengan Uni dan Ratna. Tapi aku mencoba hilangkan rasa sedih itu, dan mencoba menikmati hari terindah dalam hidupku.
Pokoknya ultahku yang ke-12 ini sangat berkesan. Semoga aja, ultahku yang ke-13 akan lebih berkesan lagi.

(Ne Cerpen dibuat pas kelas 6 SD lho0ouuuu)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 The Little Black Star and Powered by Blogger.