Jumat, 25 Desember 2009

ADIK KECIL? HUH, NYEBELIN BANGET TUH!

“Hah? Adik kecil? Mama hamil lagi?,” begitu tanggapanku mendengar kata-kata Mama.
“Iya, jadi sebentar lagi kamu nggak sendirian lagi. Ada adik kamu yang akan nemenin kamu,” jawab Mama.
“Jadi bentar lagi Ovy nggak akan jadi anak tunggal?,” tanyaku lagi.
Mama hanya mengangguk. Dari wajah cantiknya terpancar keceriaan yang tiada tara. Padahal aku paling nggak suka kalau “Anak Tunggal” untukku terhapus dan digantimenjadi “Anak Sulung”. Kalau jadi anak tunggal kan enak. Dimanja, disayang, perhatian orang tua tidak terbagi-bagi. Aku jadi cemberut
***
“Hei,” seru Indri membuyarkan lamunanku. “Kok melamun aja sih?”
“Nggak, Cuma sebel aja.”
“Kenapa sebel? Kasih tahu dong, ya semacam curhat-curhatan gitu. Katanya kalau orang punya masalah tapi dipendam sendiri bisa jadi orangnya gila lho.”
“In, aku masih waras. Mama hamil lagi. Dan bentar lagi aku akan punya adik,” ucapku serius.
“Maksud kamu, kamu takut kasih sayangmu terbagi?,” Indri menghela nafas, “tidak mungkin, Vy. Papa dan Mama kamu akan tetap menyayangimu,” sambungnya.
“Aduh, kamu tidak mengerti perasaanku sih, In. Kamu tahu kan yang namanya bayi? Tengah malam waktu aku lagi asyik tidur, dia bangun dan nangis. Mama akan semakin sibuk mengurusnya,” paparku kesal.
“Ya sudahlah. Aku nggak mau ikut campur. Sudahlah, ayo kita ke kelas. Bentar lagi bel berdentang,” ajak Indri.
Walau terpaksa aku turuti ajakannya.
***
Malam itu tanpa sengaja aku mendengar percakapan Mama dan Papa.
“Kata dokter bayi kita sudah berumur 7 bulan,” Mama berser-seri.
“Ovy pasti senang punya adik,” Papa tak kalah senangnya.
Aku tak sanggup lagi mendengar percakapan mereka. Belum lahir sudah dibicarakan. Apalagi kalau sudah lahir. Kuhampiri Nelly, kucing kesayanganku yang dari tadi duduku bermanja-manja di tempat tidurku.
“Nel, sebentar lagi aku akan punya adik. Aku sebel banget. 2 bulan lagi dia akan lahir. Pokoknya aku nggak akan pernah sayang sama tuh bayi. Nyebelin banget sih!,” ucapku sambil mengelus bulu halus Nelly.
Kupeluk tubuh Nelly.
“Meong… meong…,” Nelly berlari keluar.
Kubiarkan dia berjalan sesuka hati. Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur yang empuk. Kututup mataku perlahan dan terbang menuju “Dream World”.
***
2 bulan kemudian.
Bayi itu lahir dengan tangis yang lumayan juga suaranya. Dia lahir di RS. Al-Hidayah. Keadaan rumah jadi semakin sibuk. Mama jadi sering ke swalayan untuk belanja keperluan sang bayi. Dan namanya? Namanya rada mirip denganku. Namanya Stevie Chintya Sheraldy, dipanggil Stevie. Bagi mereka rumah ini semakin rame dan ceria sejak ada Stevie. Tapi bagiku rumah ini kelam dan suram sejak ada bayi yang menyebalkan itu.
“Vy, Ovy tolong jagain adik kamu dong. Mama mau nyiapin bubur bayi dulu,” perintah Mama.
Tentu saja aku terpaksa menuruti perintah Mama. Aku berjalan menuju kamar adikku dengan enggan. Aku merasa muak meski melihat wajah mungilnya. Kapan besarnya sih?
***
Tengah malam aku terbangun karena mendengar tangis bayi yang menyebalkan itu. Gangguin orang tidur aja. Aku beranjak dari tempat tidurku dan keluar kamar dan menuju ke kamar bayi itu.
“Duh, bayi ini gangguin aja. Nggak berhenti juga nangisnya. Diam dong. Nyusahin!,” keluhku.
“Ovy kamu jangan bilang begitu. Bayi ini kan adik kamu,” protes Mama sambil terus mendiamkan tuh bayi.
“Nggak. Bayi itu hanya mengganggu saja. Dia telah menghancurkan kebahagian Ovy,” ucapku berapi-api.
“Ovy! Kamu bilang apa tadi? Dia itu adik kamu dan tidak pernah menghancurkan kebahagiaan kamu. Lagian kamu tidak kesepian, kan. Sekarang udah ada adik kamu yang akan selalu menemani kamu,” Papa tak kalah marahnya.
“Menemani? Bagi Ovy, Ovy tetap kesepian selama Papa dan Mama lebih sayang sama Stevie. Kalian udah melupakan Ovy,” seruku sambil menangis. Aku tak sanggup lagi memendam perasaan benciku pada tuh bayi. Aku berlari ke kamarku dan menangis tersedu-sedu.
***
Perasaan benciku pada Stevie semakin menjadi-jadi. Kini dia sudah menjadi gadis kecil yang lincah. Kelincahannya itu yang membuatku muak. Suatu hari tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan Mama dan Papa.
“Ma, gimana kalau Stevie kita sekolahkan ke Singapura?”
“Wah, itu ide yang bagus. Tapi bagaimana dengan Ovy. Dia pasti iri pada adiknya.”
“Ah, Ovy lagi. Sudahlah jangan mikirin dia. Papa sudah bosan dengan kelakuannya. Dia hanya membuat kita repot. Lebih baik kita urus sekolah Stevie,” ucap Papa dengan tenang.
Mendengar ucapan Papa aku langsung naik darah. Segera kutinggalkan tempat yang begitu kelam itu.
***
“Indri,” aku menangis dan membenamkan wajahku di pangkuan Indri. “Mama dan Papa tidak sayang lagi sama aku. Huaaaa…”
“Kenapa kamu bilang begitu?,” Indri mendongakkan kepalaku.
“Aku dengar sendiri. Katanya mereka sudah bosan dengan kenakalanku, aku hanya bikin repot saja. Mereka lebih sayang sama Stevie.”
“Sudahlah, mungkin mereka memang kesal padamu. Nanti mereka sadar juga.”
Aku terus mengingat kata-kata Indri. Untuk sementara aku tinggal bersamanya. Lama-kelamaan aku merasa rindu pada keluargaku. Tapi kalau ingat wajah Stevie yang menyebalkan aku jadi semakin benci rumahku. Masih terngiang di telingaku kata-kata itu…
“Kak, lihat nih, Stevie dibeliin boneka baru,” ucapnya sambil memamerkan boneka Patricknya.
“Biarin. Kakak juga juga mengoleksi boneka Hello Kitty,” cibirku penuh kesombongan.
“Tapi kakak belum punya kaset play-station terbaru. Oh, ya. Kata Mama Stevie paling disayang sama Mama. Mama juga pernah bilang bahwa Kak Ovy nyebelin banget. Katanya Mama Cuma sayang Stevie.”
Ucapan Stevie membuatku panas. Segera kudorong dia ke kolam renang.
Byurrr……
“Rasain tuh anak sialan,” ucapku penuh kekesalan. Aku tahu kalau dia tidak bisa berenang.
“Kak, tolong Stevie. Stevie nggak bisa berenang.”
“Vy, tadi aku ketemu ortumu,” suara Indri membuyarkan lamunanku. “Mereka menanyakan keadaanmu. Mereka menyuruhmu pulang.”
“Aku kan sudah bilang aku nggak mau pulang. Pokoknya aku akan tetap benci Stevie. Lagian mereka mungkin bahagia tanpa aku.”
Indri menghela nafas. Dia maklum saja mengapa aku bicara begitu.
***
Hari ini adalah ultah Stevie yang ke-4. Hari ini adalah hari yang paling buruk bagiku. Terbayang olehku wajah Stevie yang ceria melihat kue ultah yang mewah.
“Vy,kamu nggak mau datang di ultah Stevie?,” tanya Indri.
“Buat apa aku datang. Menyusahkan mereka aja,” cetusku.
“Tapi dia kan adikmu.”
“Sejak kapan aku menganggapnya adik? Benci tetap benci.”
Indri meninggalkanku. Tak lama kemudian dia muncul lagi dengan amplop kecil.
“Lalu mau kau apakan ini?,” Indri memberikan kertas kecil padaku.
Kutatap kertas kecil berwarna biru muda itu. Lalu kusobek kertas itu seraya berkata, “gampang, kan?”
Indri kembali menghela nafas.
“Seharusnya kamu datang ke ultahnya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?,” Indri kembali menasehatiku. “Aku tahu kamu benci pada adikmu, tapi kalau kau terus melawan masalahmu dengan amarah yang terus berkobar, kapan selesainya? Vy, kamu harus tahu kalau suatu masalah jangan diselesaikan dengan amarah, tapi dengan kesabaran dan hati lapang. Mungkin ortumu tidak suka padamu karena sifatmu yang tidak baik. Cobalah, Vy. Cobalah untuk bersifat baik. Cobalah untuk sayang pada adikmu. Jangan terus merasa sebal padanya. Siapa tahu Stevie juga sayang padamu,” Indri terus menasehatiku dengan penuh kebijakan.
Meski tadinya aku beranggapan bawa Indri itu sok bijak, Tapi menurutku juga iya. Memang tiada salahnya aku mencoba. Tapi aku tetap merasa benci pada Stevie. Tak akan hilang. Bagaimanapun juga dia adalah orang yang telah merebut kasih sayang Papa dan Mama dariku. Aku meninggalkan Indri sendirian di ruang tengah.
***
Hari ini kurasakan alam begitu lain padaku. Alam lebih indah. Lebih menyejukkan. Hari ini juga kuraskan Indri berubah dan begitu lain dari biasanya. Dia lebih perhatian padaku.
“Vy, aku punya kejutan,” ucap Indri yang membuatku tersedak saat minum teh.
“Kejutan apa?”
“Nih,” Indri menyerahkan sebuah kardus kecil yang imut dengan pita pink yang indah.
Kubuka kotak itu. Di dalamnya ada boneka Hello Kitty yang lucu dan menggemaskan, dan foto keluargaku. Aku jadi ingat mereka, masa lalu yang indah sebelum ada Stevie. Tak terasa dua butir kristal bening menggelinding di pipiku.
“Kamu kangen sama mereka?,” tiba-tiba Indri menepuk bahuku.
Aku mengangguk.
“Kamu kangen Mama? Sekarang sudah terlambat. Mereka akan berangkan ke Singapura hari ini.”
Aku terkejut.
“In, antarkan aku ke Bandara. Cepat,” Aku segera menarik tangan Indri.
***
Sampai di Bandara, ku cari wajah cantik Mama. Tapi wajah itu belum ku temukan. Aku hampir putus asa. Tapi kucoba untuk bertanya.
“Mas, mas. Pesawat jurusan Jakarta-Singapura kapan berangkanya?,” tanyaku.
“Oh, sudah berangkat 10 menit yang lalu,” jawab orang itu sambil tersenyum.
Bagaikan seribu petasan yang meledak. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kupeluk tubuh Indri.
“In, aku menyesal. Aku ingin kembali bersama keluargaku. Aku… huaaaaa…”
‘Sudahlah. Mungkin lain waktu kau akan bertemu dengan keluargamu,” Indri mengelus rambutku dan mencoba menenangkanku.
Aku pulang dengan tangan hampa. Kupandang foto itu lekat-lekat. Rasanya kebahagiaan, tawa, canda dan senyum mereka mengiringi dan menguatkan setiap langkah-langkahku. Aku akan tetap hidup menjadi Ovy. Tapi bukan Ovy yang dulu. Bukan Ovy yang takut kasih sayangnya terbagi-bagi.
***
9 tahun kemudian…
Hari ini kudapati alam kembali lain bagiku. 9 tahun telah berlalu. Hari ini adalah 9 tahunnya dimana Indri memberiku boneka Hello Kitty sambil mengucapkan “HAPPY BIRTHDAY”. Hari ini juga ke-9 tahunnya dima aku berpisah dengan ortuku. Kini aku bukan anak kecil lagi. Kini aku bukan anak kecil yang tidak mau membagi kasih sayang dengan adik kecil. Sekarang aku sudah dewasa. Tadi pagi Indri kembali mengucapkan happy birthday padaku. Ya, hari ini adalah ultahku, hari saat aku berpisah dengan mereka.
Kulangkahkan kakiku dengan pasti. Kesedihan, amarah, kebencian telah kuhapus dalam diary hidupku. Kini rasa rindu yang menggebu menyelimuti hariku. Mama, Papa, Stevie, Nelly, kamar kita-kita, rumah indah, masakan Mbo’ Oda, kebijakan dan keramahan Bang Mursalin, Boneka Hello Kitty, bunga mawar, semuaaaaa… nya kurindu. Setiap hari minggu pagi biasanya kutengok rumahku yang penuh kenangan. Hari ini juga kutengok rumahku. Saat telah memasuki halaman, suara yang tak lagi asing bagiku kembali kudengar.
‘Meong… meong… meong…,”
“Nelly,” kupeluk Nellyku yang manis. “Kamu tidak ikut mereka? Atau mereka yang tidak membawamu?,” tanyaku sambil menangis.
“Tidak. Kami merawatnya di Singapura. Kami membawanya, karena kami tidak mungkin menghapus semua kenangan tenatang dirimu.”
Suara itu. Suara yang merdu.Pasti dia.
“Mama,” aku langsug memeluk tubuh Mama. “Maafkan… maafkan Ovy, Ma,” ucapku tersendat-sendat.
“Mama tahu. Mama sudah memaafkan kamu. Mama juga sangat kangen sama kamu. Itulah alsannya kami putuskan untuk kembali ke sini lagi,” Mama tersenyum. “Lihatlah, adikmu juga kangen padamu.”
Kupandang Stevie yang kini sudah remaja. Kupeluk tubuhnya sambil terus menangis.
“Maafkan kakak ya, Stev.”
“Stevie udah maafin kakak kakak kok.”
Kami berpelukan. Pertemuan ini sungguh membuatku bahagia. Indri juga kuhubungi untuk menikmati pertemuan ini. Sungguh, aku sangat bahagia.
“Gimana, Vy. Masih takut juga ortu bakalan nggak sayang sama kita? Atau kamu masih benci sama Stevie?,” goda Indri.
Aku hanya tersipu. Kugandeng erat tangan Stevie, adikku. Kini tak ada lagi kata-kata “ADIK KECIL? HUH… NYEBELIN BANGET TUCH!
***





By : ARIFAH

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 The Little Black Star and Powered by Blogger.