Jumat, 25 Desember 2009

JANGAN BERITAHU NIA

“Eh, jangan beritahu Nia ya, kalau aku suka dia,” bisik Rahman pada Hormadi yang duduk santai di hadapannya.
Tapi rupanya Hormadi sama sekali tak mempedulikan ancaman Rahman. Ia menghampiri Nia kecil yang saat itu bermain-main dengan kapur tulis di depan kelas.
“Nia, tahu nggak? Rahman suka kamu,” kata Hormadi sambil tertawa.
Nia kecil yang sama sekali tidak mengerti akan hal itu, menggerutu. Di samping itu, kebenciannnya pada Rahman juga menjadi penyebabnya. Siapa coba yang suka sama si Kepala Jumbo Rahman?
“Bohong, Ni! Jangan percaya sama dia,” seru Rahman.
‘Ih, siapa juga yang mau percaya?’ Nia berucap dalam hati. Lalu dengan perasaan kesal dia melempar penghapus dan meninggalkan kelasnya.
^^^
Aku tersenyum sendiri mengingat memori lama saat aku masih kelas I MI dulu, waktu aku masih membenci manusia ‘kepala besar’ seperti Rahman. Tapi kini, aku duduk bertopang dagu, tersenyum kecil, masih sekelas dengannya dan anehnya, menyukainya. Bahkan mungkin perasaanku ini bukan sekedar suka, tapi CINTA….
Aneh, ya! Awalnya aku juga tidak mengerti saat perasaan itu tiba-tiba datang. Waktu aku baru masuk MTs aku merasa ada sesuatu yang beda saat aku menatapnya. Perasaan yang begitu indah, bahagia, sakit, perih… dan lain-lain. Lalu aku ceritakan itu semua pada kedua sahabatku, Ifa dan Fat.
“Apa?” pekik Ifa. “Rahman? Yang bener aja? Yah, tapi kalau kamu emang udah suka ya mau gimana lagi. Menurutku sih, wajar-wajar aja.”
“Iya, Uni. Cinta itu memang sulit untuk diterka. Jadi kamu nggak perlu khawatir sama perasaan itu. Manusiawi kok!” si bijak Fat mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya.
“Kita sih, dukung-dukung aja!” kata Ifa yang membuatku senang sesaat, tapi kemudian langsung cemberut saat dia melanjutkan, “Tapi terus terang ya, Uni. Aku tuh, agak kurang setuju juga soalnya dia itu orangnya jutek abiz! Udah gitu nyebelin, sombong, pokoknya ngeselin banget deh! Jangan marah ya, Uni!”
Tapi setelah hari itu, Ifa mulai bersikap baik pada perasaanku. Tiap kali dia melihat Rahman, pasti langsung memanggilku agar aku bisa melihatnya walau hanya sekilas. Begitu juga dengan Fat. Tapi aku sadar bahwa perasaanku bertepuk sebelah tangan. Dia tidak mungkin menyukaiku juga. Lihat saja sikapnya terhadapku, bertegur sapa saja kita tidak pernah. Awalnya ku pikir itu mungkin karena sikapnya yang dingin, tapi akhirnya aku sadar bahwa aku memang bukan orang yang dekat dengannya dan aku memang tidak punya hak untuk sekedar mendapat senyuman darinya.
Andai memori lama itu terulang kembali. Saat aku masih menjadi Nia kecil yang suka bermain kapur tulis di depan kelas dan dia adalah Rahman si Kepala Jumbo yang usil. Saat aku masih membencinya. Saat Hormadi bilang dia suka padaku tapi aku jadi kesal dan meninggalkan kelas. Tapi jika kali ini Hormadi kembali mengatakan bahawa Rahman menyukaiku, aku tidak akan kesal lagi. Aku akan menjawab senang, dan tersenyum bahagia.
Mungkin aku terlalu dini untuk merasakan ini. Karenanya, aku melewatkan hari-hariku dengan hanya mengagumi tanpa dicintai. Terkadang merasa sakit, tapi aku tahu bahwa itu harus ku terima. Harusnya aku bersyukur karena Tuhan telah memberiku perasaan. Itu artinya aku adalah manusia biasa walau aku harus puas hanya dengan menjadi pengagum rahasia. Jadi kunikmati saja rasa sakit itu.
Kemudian, rasa sakit yang kunikmati itu berbuah harapan saat suatu malam Hpku bersenandung ceria, dan aku menerima SMS yang benar-benar singkat.

< Mlm,cw’! >

Aku berpikir. Nomor yang tertera di situ sama sekali tak ku kenal.
‘Siapa sih, kayaknya pelit banget!’ ucapku dalam hati. Tapi aku pikir tidak ada salahnya juga membalas SMS misterius itu, mumpung gak ada kerjaan.

< Mlm jg! Tp ni cp ya? Pa qt dah slg knl? Or prnh ktm di swt t4? >

Aku menunggu sejenak, dan nomor misterius itu membalsnya.

< Aq tmn lmM.dah lp y? >

Aku kembali berpikir keras. Teman lama? Siapa ya, kira-kira?

< Tmn lm? Tmn lmQ bxk c! Ngku ja knp c! Km cp? >

Sekarang aku mulai kesal dan menunggu balasannya dengan agak kesal. Jujur, sebetulnya aku sangat tidak suka SMSan dengan orang yang sok misterius. Sesaat kemudian, balasan datang.

< Pk’x aq tmn sklsM wkt qt msh MI. >

Aku terperanjat. Entah mengapa aku merasa orang yang sok misterius itu adalah Rahman. Tapi tidak mungkin dia, buat apa coba dia SMS aku, kecuali kalau dia…. Ah! Aku menghilangkan prasangka itu. Aku terus meyakinkan diriku sendiri bahwa dia tidak mungkin menyukaiku, dan selamanya akan begitu. Jadi jangan Ge-eR dulu.

< Tmn MIq bxk. >

Aku membalas singkat. Lalu dia membalas lagi.

< Yg pst aq slh 1 dr mrk. Eh, ud dl y. Q lg da krjaan mda2k ne. Bye! >

Ih, ni orang aneh banget sih! Tapi aku jadi penasaran siapa sebenarnya orang ini. Makanya keesokan harinya waktu aku belajar kelompok di rumahnya Susi aku langsung menanyakan nomor misterius itu padanya.
“Itu sih, nomornya Rahman. Dia juga sering missedcall aku, tapi gak pernah SMS sekali pun. Jangan-jangan dia suka kamu lagi!” Susi tertawa nakal.
“Masa sih, ini Rahman?”
“Sumpah, ini nomornya Rahman. Cie, kayaknya ada yang lagi seneng nih! Aku tahu kamu suka kan sama dia? Hayo, ngaku aja,” Susi mulai meledekku.
“Gak kok! Siapa juga yang suka sama dia!”
Sungguh, dalam hatiku saat itu aku benar-benar bahagia. Dan sejak hari itu aku dan Rahman mulai sering SMSan. Dia pun mengakui identitasnya yang sebenarnya. Aku pun merasa memiliki harapan untuk bisa dekat dengannya walau hanya melalui Hp karena di sekolah, walau pun kita sering SMSan dia tetap seperti dulu, tidak pernah berbicara denganku. Selain itu, kita juga beda kelas jadi agak jarang ketemu.
Kami mulai sering bertegur sapa sejak kita sama-sama terpilih menjadi bagian dari OSIS. Walau hanya sebatas kata ‘Hai’, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Hingga akhirnya hal yang kuimpikan sejak dulu terjadi. Kami mulai saling menceritakan masalah pribadi dalam SMS kami. Itu artinya aku harus siap menerima kenyataan jika dia memberitahuku siapa orang yang dia sukai.

< Ni,km prnh sk ma s2org g’? >

Pertanyaan yang aneh, pikirku.

< Y iylah,sbg mnsia nrml q jlz prnh sk ma s2org lah! >

< Trz,cp cwo’ yg km skai? >

Kok pertanyaan tambah aneh sih, pikirku lagi.

< Pa untgx bwt km? >

< Y g’pa” cm mo th ja. Crt ya,tar Q jg mo crt cp cw’ yg Q skai >

Hm, kupikir inilah kesempatanku. Aku bisa berpura-pura menyukai orang lain untuk mengetahui siapa orang yang disukainya.

< Cey,j0 blg cp”y,Q sk Adi Rahman 2C yg sekls ma km. >

Deg, deg, deg, aku berdebar-debar menunggu jawabannya, sekaligus menunggu siapa kira-kira cewek beruntung itu. Aku mulai mengira-ngira, mulai berpikir-pikir, mulai mereka-reka, mulai mengingat-ingat siapa saja cewek sempurna di MU yang kira-kira disukainya. Setelah kupiki-pikir, Ifa termasuk juga di dalamnya. Duh, kok aku jadi tambah ngelantur kemana-mana? Nggak mungkinlah cewek itu Ifa. Dan akhirnya ringtone SMS itu membuyarkan pikiran burukku.

< Km jg jgn blg ma cp”y. Aq nksr Jazila ank 1A. >

Hah? Jadi cewek yang kupikir sempurna itu adalah Jazila??????
Besoknya, aku langsung menceritakan semuanya pada Ifa dan Fat.
“Hmm, aku jadi penasaran. Kayak apa sih, si Jazila itu? Kayak apa sih, Ni?” komentar Ifa sok serius.
“Itu lho, Fa anak kelas 1. Masa’ gak tahu sih? Aku emang sering lihat dia bicara sama Rahman, tapi aku gak nyangka ternyata Rahman beneran naksir dia.”
“Terus, maksud kamu, kamu nggak rela Rahman naksir cewek lain?” tanya Fat. “Gak boleh gitu donk, Uni. Itu sama aja kamu memaksakan perasaan sama Rahman. Terserah dia mau naksir sama Jazila atau siapa aja, itu hak dia.”
“Siapa bilang aku nggak rela, Fat? Aku selalu siap menerima kenyataan dia naksir sama cewek sempurna lainnya. Tapi yang ini Zila. Aku nggak bisa terima karena kayaknya dia itu bukan cewek baik-baik dan aku takut Zila hanya ingin mempermainkan perasaan Rahman. Aku bahkan lebih senang kalau Rahman naksir Ifa,” ucapku yang membuat Ifa terbatuk.
“Yang bener aja, Uni. Gak ah, aku gak mau jadi rival kamu. Kalaupun emang beneran terjadi aku pasti akan langsung nyerahin dia ke kamu. Beneran! Sumpah deh!”
Aku terdiam. Walau begitu pahit, aku akui perkataan Fat memang benar. Yah, aku akan memendam perasaan ini selamanya, juga rasa sakit ini. Tapi kenapa harus Jazila?
Sejak malam itu, aku mulai menjauh dari Rahman. Missedcallnya tak kuhiraukan lagi. SMSnya hanya sekali-kali kubalas itupun hanya 1 kali balasan saja, setelah itu tidak lagi.
Aku terus menghindarinya, sampai kami kelas 3 sekarang ini. Kurasa tahun ini akan menjadi tahun yang sulit bagiku.
^^^
Hari-hari menjelang ulangan umum semester pertama, agak sedikit bersahabat. Aku, Ifa dan Fat mulai sering jalan bertiga sebagai pengganti kebersamaan yang hilang sejak kami beda kelas. Ifa pun kelihatan bahagia dengan Bintang Hatinya, dan semakin hari hubungan mereka semakin romantis yang membuat anak-anak 2A lainnya jadi iri. Yah, aku pun termasuk anak yang iri itu. Hahaha…
Yang lebih bersahabat lagi, aku dan Rahman yang dulunya tak pernah bertegur sapa, kini mulai sedikit membaik walaupun hanya saling sindir. Tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku. Apalagi baru-baru ini kudengar bahwa dia sudah putus dengan Jazila. Aku sedikit lega, setidaknya dia sudah mulai jauh dari Jazila. Hari-hariku mulai ku habiskan dengan tersenyum sendirian, bertopang dagu, berkhayal, persis saat pertama aku naksir Rahman dulu. Syukurlah, anak-anak 2A banyak membantu. Mereka yang mengerti perasaanku membantuku mencari tahu lebih banyak tentang Rahman, atau sekedar mengetahui kemana dia akan melanjutkan sekolah setelah lulus nanti. Ku harap dia juga melanjutkan ke MAN sepertiku. Jadi mungkin aku bisa lebih dekat dengannya walau hanya sebagai teman.
^^^
Ujian akhir nasional kami lalui dengan hasil yang cukup baik. Kami mulai mempersiapkan penampilan terakhir kami dalam acara perpisahan nanti yang akan diselenggarakan seminggu lagi. Kebetulan Rahman terpilih untuk tampil sebagai perwakilan kelas kami. Aku pun tidak sabar untuk melihat penampilannya nanti.
Dan malam perpisahan itu tiba juga. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penonton penuh sesak untuk menonton pentas seni Al-Miftah. Aku, Ifa dan Fat juga beberapa anak 2A lainnya yang akan tampil bersiap di belakang pentas. Kelasku dan kelas Ifa tampil bergiliran. Dan syukurlah, penampilan kami tidak mengecewakan.
Saat acara usai, aku benar-benar terkejut saat tiba-tiba Rahman menghampiriku.
“Ni, bisa bicara sebentar?”
Aku tak tahu harus menjawab apa, jadi aku menatap Ifa dan Fat yang tersenyum senang bergantian. Kelihatannya aku tahu apa yang ada dalam pikiran mereka.
“Bicara aja…”
“Cuma berdua!” tegasnya.
“Cuma berdua, Ni. Sana, kayaknya di depan Perpustakaan gak ada siapa-siapa kok. Kita jagain deh dari sini,” kata Ifa dan tersenyum nakal.
Dengan perasaan campur aduk aku mengikuti Rahman ke depan pintu Perpustakaan sekolah. Sampai di situ dia hanya tertunduk dan diam, seakan kebingungan mau bicara apa.
“Ni,” dia mulai bersuara. “Mmm, sebelumnya aku minta maaf ya, kalau selama ini aku nyuekin kamu.”
“Oh,” aku mulai kecewa. “Jadi kamu cuma mau minta maaf? Nggak apa-apa lagi.”
“Ng, nggak, bukan cuma itu. Aku juga mau bilang kalau… sebenarnya… Aku…”
Oh, God! Apa dia… Ah, gak mungkinlah dia kayak gitu. Dia suka Zila dan selamanya akan begitu.
“Bilang aja, kenapa?”
“Sebenarnya aku nggak yakin mau ngomong, tapi…”
“Apa? Teman-temanku udah nunggu aku dari tadi,” kataku mulai tak sabar.
“Sebenarnya aku… su… SUDAH IKHLASIN UANG YANG KEMARIN HILANG GARA-GARA DIAMBIL ILA ITU. Ingat nggak?”
Duar! Ternyata memang akunya yang kegeeran.
“Ya udah,” jawabku lesu. “Makasih. Aku balik dulu ya, Ifa sama Fat udah nungguin.”
Aku berbalik dengan wajah murung. Ternyata memang benar, itu semua hanyalah harapan kosong yang nggak akan pernah terjadi. Baru beberapa langkah…
“Nia, tunggu!” dia memanggilku lagi.
Apa lagi sih? Aku nggak mungkin pasang wajah murung kayak gini. Nanti dia tahu lagi kalau aku suka dia dan berharap dia menembakku tadi. Tapi aku pun berhenti.
“AKU SUKA KAMU!”
Apa yang kudengar tadi? Aku pun berbalik.
“Ya, aku suka kamu sejak kita masih MI dulu. Memang kedengarannya lucu dan kupikir itu hanya perasaan anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tapi sampai kita MTs, kita beda kelas, bahkan sampai kita sekelas lagi aku masih memiliki perasaan itu. Dan baru malam ini aku punya keberanian untuk mengatakannya padamu.”
Aku tersenyum bahagia, kurasakan mataku mulai berair. Entahlah, itu rasa haruku atau hanya karena aku mengantuk. Dia menghampiriku.
“Lalu, Jazila?” tanyaku.
“Dia hanya pelarianku. Malam itu ketika aku bertanya kamu naksir siapa, aku berharap orang itu adalah aku. Tapi ternyata, aku terlalu banyak berharap. Kenyataannya kau tidak menyukaiku. Aku yang saat itu kesal padamu bilang saja kalau aku naksir Jazila. Tapi sebenarnya orang itu adalah kamu, Ni.”
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dapat kurasakan saat itu Ifa dan Fat mulai histeris dan sangat bahagia karena akhirnya perasaanku tercapai.
“Yah, sebenarnya waktu itu aku bilang aku suka Adi Rahman juga karena aku hanya ingin tahu kamu suka siapa. Kamu juga harusnya ngerti, masa’ cewek yang nyatain perasaan duluan? Aku pun saat itu kecewa karena merasa kamu sama sekali nggak peduli dan nggak pernah menyadari bahwa selama ini aku juga suka kamu…” ceritaku malu-malu.
Dia tersenyum.
“Pertanyaan terakhir,” ucapnya lagi. “Mau nggak jadi pacarku?”
Tuhaaan…! Apa ini bukan mimpi? Aku harus jawab apa? Lama aku terdiam.
“Iya, Uni mau kok jadi cewek kamu. Tapi ada syaratnya. Iya kan, Uni?” suara Ifa mengejutkan kami.
Sesaat dia agak kecewa dan bertanya, “Apa syaratnya?”
“Hmm, kamu suka bantuin kakak kamu jualan martabak dan terang bulan di TB kan? Nah, tiap malam mingguan aku mau ngedate ke sana sama cowokku dan aku mau terang bulan gratisss!!!”
“Apaan sih, Fa?” Uni tampak malu.
“Nggak apa-apa lagi, kamu sanggup nggak?” tanyaku pada Rahman.
“Beres. Kalau cuma itu sih bisa diatur.”
Kami tertawa bersamaan. Aku benar-benar bahagia. Akhirnya perasaanku yang bertepuk sebelah tangan berakhir sudah. Dulu aku hanya mengagumi tanpa dicintai. Kini, bukan mengagumi lagi, tapi mencintai dan dicintai.
“Eh, jangan beritahu Nia ya, kalau lulus SMA nanti aku akan melamarnya…”



Batangbatang, 261208
BINTANG_APRYL

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 The Little Black Star and Powered by Blogger.